Butuh sekitar dua jam perjalanan dari Pos Plawangan menuju Puncak Gunung Slamet. Setelah memeras keringat dan berjalan terseok-seok di tengah suhu yang dingin, kami tiba di atap tertinggi di Jawa Tengah.
Panorama Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Prau, dan Gunung Ceremai bisa terlihat dari Puncak Ceremai. Lubang kawah yang mengepulkan asap juga terlihat dari area Puncak Gunung Slamet.
Tak lupa kami melakukan ritual wajib khas para pendaki yaitu berfoto di puncak gunung. Namun, kami tak berlama-lama karena perjalanan harus dilanjutkan yaitu menuju jalur Guci yang masuk di wilayah administrasi Kabupaten Tegal.
“Jalurnya turun, lalu nanti melipir di bibir kawah,” kata Wawan.
Saat mulai memasuki area sekitar kawah, kabut benar-benar pekat. Berbeda 180 derajat dengan kondisi di puncak gunung yang benar-benar cerah tanpa tertutup kabut.
Medan masih berbatu dan berpasir. Namun, kini batu-batu yang saya temui lebih besar dan berwarna lebih cerah dan kehitaman.
“Batu-batu ini dari jejak letusan Gunung Slamet,” kata Wawan.
Asap terus mengepul di sekeliling saya. Bau sulfur terasa sangat familiar. Kami pun tak menggunakan penutup wajah dan hidung.
Kami terus berjalan agar menemukan titik pertemuan jalur turun menuju ke arah Guci. Hal yang paling mendebarkan saat itu adalah ketika melintasi igir-igir kawah Gunung Slamet.
“Itu kawahnya masih aktif,” kata Wawan.
Gunung Slamet sendiri termasuk gunung api yang masih berstatus aktif. Area kawah masih mengeluarkan kepulan asap belerang. Oleh karena itu, di kaki Gunung Slamet juga banyak obyek wisata pemandian air panas yang berasal dari panas bumi di perut bumi.
Jarak pandang di depan kami mungkin hanya berkisar lima meter. Namun, saat angin bertiup, tebing-tebing kawah yang menjulang dan melingkar sesekali terlihat.
Suasana hening di sekitar kawah terasa sunyi. Suara yang muncul hanya langkah kaki yang bersepatu di bekas medan bebatuan, bekas letusan Gunung Slamet.