JAKARTA, KOMPAS.com – Pada malam itu, udara di Pos Pesanggrahan Gunung Ciremai, Jawa Barat terasa begitu menusuk tulang. Angin semilir berhembus dan sesekali menimbulkan bunyi akibat gesekan-gesekan daun di pohon.
“Malam ini kita istirahat. Dini hari nanti kita menuju puncak Ciremai,” kata rekan pendakian saya, Dimen sambil menyeruput teh manis hangat di depan tenda. Kami menutup mata lalu bersiap menikmati perjalanan menuju puncak Ciremai.
Pendakian gunung tertinggi di provinsi Jawa Barat pada tahun lalu itu masih jelas terbesit di pikiran. Saya bersama rekan-rekan pendaki yang tinggal di area Sektor V, Ciledug, Tangerang pergi ke mendaki Gunung Ciremai yang berketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut (mdpl) via jalur Palutungan.
Jalur berubah menjadi jalan setapak melewati kebun-kebun sayur nan segar. Kami disambut tegur sapa yang ramah dari masyarakat sekitar.
Sesekali, terdengar lenguhan suara sapi saat menuju pintu rimba. Bagi pendaki yang pernah mendaki Gunung Ciremai via Palutungan, pasti setidaknya pernah satu kali mendengar suara sapi itu.
Jalur mulai menanjak, siap menguras keringat dan membuat dengkul sedikit gemetar. Terkadang aktivitas mendaki gunung itu memang tak jarang bikin orang lain heran.
“Sudah bikin lelah, jauh jalan kaki, banyak tanjakan, susah buang air, kenapa mau naik gunung?” begitu kira-kira pertanyaan yang sering muncul.
Jalur Palutungan terkenal dengan medan pendakian yang cenderung lebih landai dibanding jalur Linggarjati. Ketersediaan air di Pos Cigowong memudahkan pendaki bisa mengisi ulang perbekalan untuk mendaki ke puncak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.