Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pagi yang Menakjubkan di Magelang

Kompas.com - 19/08/2019, 07:00 WIB
Silvita Agmasari,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sinar matahari masuk melewati jeruji jendela kayu. Kelopak mata saya tergerak merespon sinar tersebut. Rasanya tubuh ini butuh istirahat lebih lama tetapi otak memerintahkan untuk bangun.

Pertemuan aliran Sungai Elo dan Sungai Progo membuat deru yang begitu seru. Ditambah kicauan burung yang terdengar seperti nyanyian dalam tempo allegretto nan riang.

"Kalau tidak bangun pagi, kamu akan melewatkan banyak hal," kata suara dari pikiran saya sendiri.

(Baca juga: Menikmati Matahari Terbit dengan Latar Candi Borobudur Berkabut, Indahnya...)

Saya beranjak bangun, minum air putih di samping ranjang, dan mengambil alas kaki. Pintu kayu besar di rumah joglo tersebut berderit. Benar saja, saya disambut pemandangan yang menakjubkan.

"Selamat datang kembali di Magelang," kembali suara dari pikiran itu berbunyi.

Magelang, Jawa Tengah sungguh punya pesona tersendiri. Bagi pekerja ibu kota seperti saya, Magelang adalah tempat pelarian. Inilah tempat untuk mencerna makna dari sebuah hidup, bukan hidup yang selalu tergesa seperti di Jakarta.

Entah mengapa setiap sudut di Magelang layaknya tempat untuk menenangkan diri. Pagi itu saya disambut pemandangan Sungai Elo dan Progo yang airnya keruh karena bekas hujan.

Alirannya deras, tetapi air tampak bersih. Sama sekali tak ada sampah baik di bantaran maupun di aliran air.

Hujan semalam membuat rumput menjadi basah dan hangat matahari yang bersahabat. Ada wangi daun dan rumput yang meningkatkan hormon endorphin. Kelas yoga di penginapan dimulai setengah jam lagi, berarti masih ada waktu untuk minum teh dan mengganjal perut.

Usai mengikuti sarapan, kelas yoga, dan bermeditasi. Saya mengobrol bersama pemilik penginapan, tak lain seorang seniman bernama Sony Santosa.

(Baca juga: Punthuk Mongkrong, Spot “Sunrise” Menawan dekat Candi Borobudur)

Ia seniman kelahiran Sumatera kemudian hijrah ke Perancis dan menetap di sana lebih dari 10 tahun. Namun Sony akhirnya memutuskan berbisnis penginapan dan berkarya di Magelang. Rasa penasaran saya terusik, apa alasan Sony memilih Magelang untuk menetap?

"Itu gara gara Borobudur. Memang gila Borobudur," kata Sony terkekeh.

Gaya bicaranya khas seniman, nyeleneh tetapi penuh arti. Ia berkata Candi Borobudur bagaikan magnet yang tak bisa ditolaknya. Ada hal yang tak bisa digambarkan olehnya hingga membuatnya ingin menetap di Magelang.

Ditambah ia jatuh cinta dengan lahan tempat Eloporogo Arthouse berdiri sekarang. Tanah dengan pemandangan langsung pertemuan aliran Sungai Elo dan Sungai Progo. Konon di lokasi inilah dahulu Gajah Mada pernah bersemadi.

Hal itu juga yang sering dilakukan Sony di bantaran sungai, selain melukis dan bermain bersama anaknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com