Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cokelat Ransiki, Pengembangan Kakao Berkelanjutan di Papua Barat

Kompas.com - 22/08/2019, 21:11 WIB
Silvita Agmasari,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebatang cokelat dari Pipiltin Cocoa bernama Ransiki 72 persen tampak seperti cokelat pada umumnya. Selain cita rasa yang khas, cokelat Rasinki ini juga terbilang unik karena menjadi produk akhir dari perjalanan panjang dan kerja sama berbagai pihak di Papua Barat.

Perjalanan cokelat Ransiki dimulai dari Desa Abreso, Dusun Ransiki, Manokwari Selatan, Papua Barat.

Kakao merupakan komoditas lokal yang dihasilkan lewat hutan zona penyangga di area Pegunungan Arfak. Masyarakat setempat sejak lama menjadi petani kakao dan mencapai puncak kejayaan pada 1980-an. Sampai akhirnya usaha harus terhenti lantaran perusahaan penerima pasokan kakao rasinki gulung tikar.

"Kakao ini sempat ditinggalkan oleh masyarakat setempat sejak 2006. Sampai ada pemekaran daerah dan dibentuk koperasi kembali pada 2017," Kata Kepala Koperasi Petani Cokran Eiber Suth di Distrik Rasinki, Yusup saat ditemui di acara peluncuran Rasinki 72 persen dari Pipiltin Cocoa di Mal Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (22/9/2019).

Baca juga: Selamat Datang di Negeri Kopi dan Cokelat Jember

Geliat petani kakao di Rasinki kembali hidup. Terutama ketika ada kolaborasi dari Pemprov Papua Barat, Pemerintah Kabupaten Manokwari Selatan, Pipiltin Cocoa, dan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau.

Kini setiap bulan koperasi Eiber Suth menerima sekitar 45 ton kakao. Ada sekitar 200 petani kakao lokal yang menjual kakao ke koperasi.

"Adanya kakao ini membantu kesejahteraan masyarakat, terlihat perbandingan (kesejahteraan) sebelum dan sesudah ada koperasi," Kata Yusup.

Harga kakao fluktuatif. Namun rata-rata satu kilogram kakao dihargai Rp 23.000 sedangkan kakao yang telah difermentasi dihargai Rp 45.000 per kilogram.

Ilustrasi cokelatPicLeidenschaft Ilustrasi cokelat

Usaha yang selaras dengan alam

Papua Barat mendaulat diri sebagai provonsi dengan 70 persen daerah konservasi. Meski demikian menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, Professor Charlie D Heatubun bukan berarti Papua Barat tidak menerima investor.

"Kita harus cari jalan untuk menyelaraskan kelestarian alam, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan yang berkelanjutan," kata Charlie.

Strategi yang diambil oleh pemerintah Papua Barat dijelaskan oleh Charlie adalah dengan tidak menghabiskan lahan di hulu. Menemukan pasar, mengetahui permintaan, dan memperbaiki rantai pasok.

Baca juga: Aneka Kuliner Cokelat yang Bisa Ditemukan di Gunungkidul Yogyakarta

Ia berharap cokelat Ransiki dapat menjadi pembuka jalan dan menarik investor untuk mau berbisnis yang selaras dengan alam di Papua Barat.

"Branding konservasi bukan berarti berhenti untuk bisnis tetapi bisa lewat bisnis yg bertanggung jawab juga ecotourism," jelas Charlie.

Ada cokelat, kopi, pala, lawang, minyak mesohi, kelapa, buah merah, dan hasil perikanan yang masih bisa digarap di Papua Barat. Masyarakat setempat, menurut Charlie sendiri, sudah sadar akan pentingnya berbisnis yang selaras dengan alam. Mengingat selama turun temurun masyarakat Papua hidup dari alamnya sendiri.

"Mereka tahu ketika hutan-hutan ditebang, berarti akan berpengaruh pada kualitas dan rasa dari cokelat yang mereka tanam. Juga untuk kegiatan ecotourism seperti bird watching," kata Charlie.

Baca juga: Usai Mendaki Gunung Api Purba, Mampir ke Griya Cokelat Nglanggeran

Ketua Koperasi Eiber Suth Yusup mengatakan bahwa yang mereka harapkan hanyalah investor seperti Pipiltin Cocoa, yang mau berbisnis dapat memberi bantuan manajemen untuk koperasi.

Sebab potensi cokelat di Rasinki terbilang besar, dengan koperasi mengelola 200 hektar lahan dan total 200 orang petani mengelola 1.668 hektar tanaman kakao.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com