Cita rasa terdiri dari tiga elemen: rasa (yang dapat dideteksi dalam reseptor yang ditemukan di dalam pengecap), rangsangan fisik (seperti tekstur, suara, penampilan dan rasa sakit pada cabai) dan bau.
"Sebagian besar aroma asap adalah bau," kata Marcia Pelchat, seorang ilmuwan sensorik di Monell Chemical Senses Center.
Asap terdiri dari gas, uap air dan partikel kecil yang dihasilkan dari pembakaran. Ini mengandung bahan kimia dari selulosa dan lignin, unsur utama kayu, yang terurai menjadi senyawa lain yang dideteksi sebagai aroma.
Dari tiga unsur rasa, bau asap adalah salah satu bau yang paling menarik untuk indera manusia. Itu karena indera itu bersarang di bagian otak yang disebut sistem limbik, yang menampung emosi dan memori jangka panjang. Bau memicu ingatan-ingatan pribadi serta selera dasar.
"Secara evolusi, kita semua mulai memasak dengan api. Bau berasap itu adalah stimulus yang sangat kuat," kata Pelchat.
Dalam bukunya, ‘Catching Fire: How Cooking Made Us Human’, ahli antropologi biologi Harvard, Richard Wrangham menyatakan sebuah teori yakni memasak makanan membantu kita berkembang.
Baca juga: Contek 5 Strategi Mengolah Daging Kambing Kurban dari Penjual Sate
Hal itu makanan yang dimasak butuh waktu lebih sedikit untuk dicerna, menyisakan lebih banyak waktu bagi manusia untuk melakukan hal-hal lain, seperti berinovasi.
"Manusia tidak seperti binatang lain. Dalam kebanyakan situasi, kita membutuhkan makanan yang dimasak," dikutip dari tulisan Richard.
Aroma unsur daging yang dimasak di atas api tetap menjadi bagian dari DNA kuliner manusia. Pandangan sekilas ke dapur, membuat Richard menemukan bukti.