PIDIE, KOMPAS.com – Mami (50) duduk santai di pondok milinya di Desa Simpang Beutong, Kecamatan Laweung, Kabupaten Pidie, Kamis (24/10/2019). Pondok itu berada persis di sisi jalan raya Medan-Banda Aceh.
Di seberang jalan aspal itu rumahnya berada. Sehari-hari dia berada di pondok itu. Dari pagi hingga menjelang magrib.
“Mau berapa tumpuk,” kata Mami, saat mobil menepi.
Mami cekatan melihat pembeli singgah di depan warungnya. Dia menawarkan timun yang ditumpuk-tumpuk itu. Beratnya sekitar setengah kilogram per tumpuk.
Baca juga: 5 Fakta Lengkap Seputar Memek, Kuliner asal Aceh
Masyarakat lokal menyebutnya timun tikoh (timun tikus). Sebab, timun ini memang berukuran kecil. Lebih besar sedikit dari telunjuk orang dewasa.
Biasanya, timun itu juga dilengkapi dengan cabai rawit yang digiling agak kasar dicampur garam. Dibungkus dengan pelastik kecil. Satu tumpuk timun diberi satu bungkus cabai itu.
“Ini Rp 5.000 per tumpuk,” kata Mami.
Dia mengaku, timun itu ditanam oleh suaminya. Sehingga tugasnya hanya menjual. Kawasan itu menjadi destinasi wisata buah bagi wisatawan. Saban hari melintas, timun itu selalu ada.
Namun, jika membeli timun, gigitlah buahnya. Jika didalamnya mulai menguning, maka itu timun dipastikan tidak segar dan telah beberapa hari diletakan di meja.
“Coba saja dulu. Kalau kuning jangan beli. Saya jual, setelah ambil dari pohonnya, jadi masih segar,” kata Mami.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.