LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Junaidi Hanafiah (40) sedang makan siang di Kompleks Museum Lhokseumawe, Aceh, Minggu (20/10/2019).
Tiga hari terakhir, dia membawa lima rapai (alat musik tradisional Aceh) itu ke kompleks museum.
Tak berharap banyak. Pria asal Desa Blang Weu Panjo, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe itu ingin mengenalkan cara membuat rapai bagi generasi muda.
Di sana, satu set mesin pembuat rapai terpajang. Lengkap dengan kayu Merbo sebagai lingkarannya. Di situlah dia mempraktikan cara mengikis bongkahan kayu menjadi lingkaran bulat.
Junaidi mulai membuat rapai sejak tahun 2012 lalu. Dengan mendirikan usaha kerajinan-Jambo Tuha—di rumahnya.
Sepanjang itu pula dia menemuni kerajinan itu. Hubungannya dengan pemain perkusi lintas negara mulai terbina. Dia menjual rapai ke Australia, Malaysia, India dan Amerika Serikat.
“Mereka sebut ini perkusi. Di Aceh ini rapai. Saya dihubungi via handphone jika mereka pesan. Lengkap dengan spesifikasi yang mereka butuhkan,” katanya bangga.
Junaidi boleh berbangga. Dia satu-satunya pengrajin yang memproduksi alat tradisional itu. Tak mudah membuat alat musik.
Butuh kepekaan pendengaran. Setelah jadi, butuh dicoba. Agar nada yang dikeluarkan nyaring dan cocok bagi pemesan.
Dari tangannya ratusan rapai dengan berbagai jenisnya telah lahir. Di Aceh tiga kategori rapai yaitu rapai Geleng, dengan diameter 13 inci sampai 15 inci.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.