Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangun Ekosistem Ekonomi Kreatif, Ini Saran Para Pelaku Ekonomi Kreatif

Kompas.com - 27/11/2019, 21:05 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Ni Luh Made Pertiwi F.

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaku ekonomi kreatif menawarkan konsep kreativitas dan inovasi untuk membangun ekosistem di ekonomi kreatif dalam acara Creative Economy Review 2019.

Acara yang digelar di Balai Kartini Jakarta, pada Selasa (26/11/2019) ini dihadiri tiga pelaku ekonomi kreatif sebagai narasumber.

Baca juga: Bagaimana Nasib Ekonomi Kreatif Ketika Bergabung dengan Pariwisata?

Co-Founder Kebun Ide dan M Bloc Space Handoko Hendroyono memaparkan konsep mindset terhadap dunia ekonomi kreatif diperlukan untuk mengetahui potensi besar yang ada.

Ia mencontohkan proyek garapannya yaitu Filosofi Kopi dan M Bloc yang sukses menggalang generasi milenial untuk mengembangkan ekonomi kreatif.

"Teritori kreatif adalah kekuatan kita sebagai society. Pentingnya sebuah teritori atau tempat untuk kita eksis dan akhirnya secara kreatif kita bisa berbisnis dan memiliki potensi yang sangat besar," kata Handoko dalam pemaparannya di Balai Kartini Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Handoko kemudian menjelaskan bahwa Blok M, tempat Filosofi Kopi dan M Bloc berada, dulunya adalah kawasan yang "eksis" namun perlahan ditinggalkan.

Hal ini yang justru menjadi tantangan bagi dirinya untuk mengembalikan kejayaan di tempat yang dikenal lintas Melawai itu.

Selain itu, ia mengungkapkan bahwa teritori kreatif begitu penting. "Jadi intinya teritori kreatif ini penting untuk kita membuktikan jati diri sebagai brand lokal, salah satunya adalah kita di Filosofi Kopi pakai destinasi wisata, ada Jakarta, Yogyakarta, Semarang di Kota Lama, dan sebentar lagi akan ada di Makassar, ini juga teritori kreatif yang kita kembangkan sebagai destination branding," ujarnya.

Ketiga narasumber acara Creative Economy Review 2019 di Balai Kartini Jakarta, Selasa (26/11/2019). Ketiganya memaparkan konsep kreativitas dan inovasi guna mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif.Nicholas Ryan Aditya Ketiga narasumber acara Creative Economy Review 2019 di Balai Kartini Jakarta, Selasa (26/11/2019). Ketiganya memaparkan konsep kreativitas dan inovasi guna mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif.
Ia juga menyorot adanya kebangkitan brand lokal yang luar biasa. "Itu kita perhatikan dari teman-teman saya yang berbisnis kopi seperti Tuku, Dua Coffee, Common Grounds Coffee dan lainnya. Saya keliling Indonesia, dan dari kota kecil pun, kedai-kedai kopi bermunculan," ungkapnya.

Sementara itu, Co Founder & CEO Torch, Ben Wirawan Sudarmadji memaparkan bahwa ekosistem ekonomi kreatif telah berubah khususnya ke arah tech-enable local brand.

"Kenapa tech-enable karena dia menggunakan teknologi. Sekarang teknologi digital khususnya internet meningkat amat cepat, dari 2013 sampai 2018 terdapat pertumbuhan 40 persen. Bayangkan dari 25 persen ke 65 persen. Ini perubahan luar biasa," katanya.

Perubahan juga terjadi pada market brand lokal. Dulu brand lokal tidak disasar, sekarang tanpa disadari sudah menyasar generasi milenial. Ben mengatakan saat ini hampir semua generasi milenial menyukai produk lokal.

"Yang jarang membeli brand lokal itu justru generasi di atasnya. Kalau generasi milenial sangat suka local brand, ini rentang yang sangat besar. Dan mereka semua sudah menggunakan internet, ini yang terjadi di ekosistem ekonomi kreatif," lanjutnya.

Selain itu, Ben juga memaparkan bagaimana timnya dapat mengetahui data yang ada ketika orang membeli barang di Torch.id. Data-data tersebut mulai dari merk telpon genggam, nomor telpon, bahkan hingga detailnya.

"Sehingga kita bisa mengetahui pembeli kita seperti apa, kita bisa memetakan produk mana pembelinya siapa. Digital juga bisa mengetahui seberapa besar pertumbuhan ekraf di daerah. Dengan adanya tech-enable local brand jadi lebih bertambah banyak jumlahnya, karena ada kreativitas dan ada teknologi," jelasnya.

Narasumber ketiga, Founder Spedagi Singgih Susio Kartono yang memaparkan pengembangan bambu lokal yang dijadikan sepeda berasal dari sebuah daerah di Temanggung bernama Pasar Papringan.

Namun, diakuinya masyarakat desa tidak punya pengalaman membuat harga jual yang tinggi pada bambu. Selain itu, kemiskinan dalam beberapa novel juga digambarkan dalam bentuk bambu.

Jumiatun Ketua Tim Penggerak PKK  Desa Rejosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jateng, menunjukan hasil kerajinan anyaman bambu, Minggu (2/5/2019)KOMPAS.com/ARI WIDODO Jumiatun Ketua Tim Penggerak PKK Desa Rejosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jateng, menunjukan hasil kerajinan anyaman bambu, Minggu (2/5/2019)

"Padahal di sisi lain bambu itu tanaman dari surga yang keren banget. Dan sekarang banyak produk-produk yang menggunakan bambu dan super brand tapi ini kebanyakan tidak di Indonesia, justru di negara yang secara geografis tidak punya bambu," kata Singgih.

Ia mengaku terinspirasi membuat sepeda bambu dari orang-orang yang berada di negara yang tidak memiliki pohon bambu, contohnya negara California.

"Desa itu sebenarnya kaya, tapi kita tidak sadar bahwa kita memilikinya. Konsep pengembangannya ya harus melibatkan banyak orang, kerja bakti," lanjutnya.

Singgih menginginkan adanya cara pandang baru. Kita harus mengetahui di mana posisi kita berada. Ia mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak tahu ke mana mereka bergerak.

"Ini kesempatan Pancasila bergotong royong ke dunia, semangatnya saling membantu berkolaborasi. Kita lihat permasalahan bareng-bareng bisa bantu apa. Tiap daerah harus punya lembaga riset dan tahu apa potensi terbesar, lalu bagaimana strateginya," ujarnya.

Singgih mengatakan berdirinya Spedagi untuk menyasar generasi milenial agar memilih desa sebagai tempat tinggal.

Ia melanjutkan, saat ini anak-anak muda banyak yang berpikir untuk tinggal di desa. Mereka merasa bahwa tinggal di desa bukanlah suatu kegagalan.

Berbeda dengan kedua narasumber sebelumnya, Singgih mengatakan saat ini ekonomi kreatif mulai memasuki era baru yaitu post industry 4.0.

"Karena ada spirit-spirit yang berubah, value-value yang berubah, dari value industry ke value yang baru. Kita bercita-cita ke arah sustainable, yang dicari oleh bangsa maju sebenarnya ada di belakang kita. Kita tidak bisa melihat itu sebagai masa depan, tapi mereka bisa. Harusnya kita lakukan dan temukan hal baru," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com