Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Telur Jadi Perekat Masjid Raya Sultan Riau yang Berdiri Tahun 1832

Kompas.com - 01/12/2019, 15:57 WIB
Syifa Nuri Khairunnisa,
Ni Luh Made Pertiwi F.

Tim Redaksi

PULAU PENYENGAT, KOMPAS.COM - Pertama kali menjejakan kaki di Pulau Penyengat, saya langsung disambut dengan suasana kuno yang terasa dari wujud besar Masjid Raya Sultan Riau yang berdiri kokoh tak jauh dari dermaga Pulau Penyengat.

Warna kuning dan hijau mendominasi bangunan besar tersebut, beradu warna dengan teriknya sinar matahari siang itu.

Inilah salah satu peninggalan sejarah dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat telah berdiri sejak tahun 1832.

Masjid ini dibangun saat Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman memerintah. Pada awalmya, dinding masjid masih berupa kayu.

Namun oleh Raja Abdurrahman, para masyarakat Penyengat diminta untuk menyumbang dana dan tenaga agar bisa memperbaiki masjid ini mengganti dinding bangunan dengan beton.

“Raja Abdurrahman memberikan seruan pada masyarakat tepat pada 1 Syawal, seruan fisabililah untuk bersama-sama memperbaiki masjid. Akhirnya banyak yang menyumbang salah satunya menyumbang telur untuk makan para pekerja dari India dan Singapura,” jelas Nur Fatilla, interpreter dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat yang kala itu bertugas menemani rombongan kami.

Dari sumbangan para warga tersebut, banyak yang menyumbang telur mentah. Saking banyaknya telur tersebut, para pekerja lantas memanfaatkan putih telur sebagai bahan perekat yang dicampur dengan semen dan batu. Pasalnya di daerah mereka, putih telur memang lazim digunakan untuk bahan perekat.

Bangunan masjid ini terlihat megah walau bergaya cukup kuno. Dari depan terlihat tangga menuju halaman masjid yang cukup luas. Di sebelah kanan dan kiri masjid ada bangunan unik berbentuk rumah persegi kecil.

“Namanya sotoh atau rumah terbuka. Bangunan yang di kiri gunanya untuk tempat belajar masyarakat pada masa itu. Kalau yang kanan untuk tempat istirahat musafir,” ujar Nur Fatilla yang akrab disapa Tilla.

Baca juga: Sarapan Nasi Dagang Khas Melayu, Nasi Uduknya Pulau Penyengat

Memasuki masjid, pengunjung harus mengambil wudhu terlebih dahulu. Bagi pengunjung perempuan, harus menggunakan hijab atau selendang yang menutupi kepala. Jika tak membawa, jangan khawatir karena tim Pokdarwis telah menyediakan selendang untuk pengunjung.

Masjid Raya Sultan Riau memiliki total 17 kubah masjid. Ada 10 kubah berbentuk bulat di bagian tengah, lalu tiga kubah berbentuk persegi, dan empat kubah menara. Menurut Tilla, kubah-kubah ini melambangkan jumlah total rakaat dalam solat wajib.

Tak hanya jumlah kubah yang ternyata memiliki makna penting dalam agama Islam. Namun ada juga jumlah tujuh pintu yang melambangkan surah Al-Fatihah, jendela yang berjumlah enam yang melambangkan enam rukun iman, serta lima jendela di dalam masjid yang melambangkan jumlah rukun Islam.

Becak motor melintas di Masjid Raya Sultan Riau atau dikenal sebagai Masjid Penyengat di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Untuk berkeliling Pulau Penyengat, alternatif transportasi utama adalah becak motor. KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA Becak motor melintas di Masjid Raya Sultan Riau atau dikenal sebagai Masjid Penyengat di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Untuk berkeliling Pulau Penyengat, alternatif transportasi utama adalah becak motor.

“Tiang di dalam masjid juga ada empat. Konon ada dua versi, yang pertama empat itu melambangkan empat mazhab dalam Islam dan ada juga versi empat sahabat nabi.”

Di dalam masjid ini, banyak sekali benda peninggalan sejarah yang memiliki cerita menarik. Salah satunya adalah mimbar kayu yang bergaya kuno. Konon katanya, mimbar ini sudah ada sejak awal masjid ini berdiri. Mimbar bergaya eropa dengan sedikit aksen China di bagian dalam katanya dipesan di Jepara oleh pihak Kesultanan.

“Mimbar ini masih asli hingga kini. Tidak diubah sedikit pun, masih kuat dan dipakai rutin untuk khotbah. Ini juga ada kembarannya di Masjid Jami Daik Lingga, sama persis,” jelas Hambali, penjaga Masjid Raya Sultan Riau Penyengat.

Selain itu, ada juga lampu besar kuno yang disebut sebagai lampu “crown”. Lampu ini adalah hadiah dari kerajaan Prusia karena salah satu misionaris mereka bernama Eberhardt Herman Rottger sempat tinggal selama delapan tahun di wilayah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan ia diperlakukan dengan baik.

“Di masjid ini juga ada ritual injak tanah Makkah yang sering membuat banyak orang berdatangan ke Penyengat ini. Ritual ini dilakukan oleh bayi berumur 40 hari, kaki mereka diinjakan pada tanah yang diambil dari Makkah,” ujar Hambali.

Baca juga: Siap-Siap, 8 Paket Wisata Pulau Penyengat Bakal Dirilis!

Ritual ini konon katanya dilakukan dengan harapan setelah menginjak tanah “suci” ini nasib baik akan selalu menyertainya. Tanah Makkah ini diambil oleh Raja Ahmad dan Raja Ali Haji yang sempat melakukan ibadah haji ke Makkah. Mereka membawa segenggam tanah dan ditaruh di atas piring besi yang hingga kini masih digunakan dalam proses ritual.

Terakhir, salah satu peninggalan sejarah paling menarik yang ada di dalam Masjid Raya Sultan Riau ini adalah adanya lemari bernama Khutub Khanah atau lemari yang berguna sebagai perpustakaan pribadi milik Raja Muhammad Yusuf. Di dalamnya kurang lebih ada 366 kitab.

“Di dalamnya ada kitab Al Kanun Al Tib yang ditulis oleh Ibnu Sina. Sampai sekarang semua buku masih asli. Beberapa bahkan ada yang sudah hancur karena usia. Tapi yang terpelihara dengan baik juga ada seperti Al-Quran tulis tangan yang dibuat oleh Abdurrahman Stambul di sana,” jelas Tilla sambil menunjuk sebuah Al-Quran berukuran cukup besar yang dilindungi dalam kotak kaca.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com