Kondisi ini membuat kitab-kitab tersebut sudah tidak bisa dipegang, apalagi dibaca dengan bebas karena kerapuhannya.
“Harus hati-hati pegangnya. Banyak yang kertasnya sudah lepas dan rusak. Banyak yang tidak terbaca. Bahkan ada yang sudah hancur dan lembar-lembarnya juga berantakan, itu kami satukan di dalam satu plastik ini,” ujar Raja Abdurrahman.
Untungnya, ada cukup banyak naskah dari kitab-kitab yang pernah ada di lemari Khutub Khanah ini yang sudah diarsipkan dan kini disimpan di Balai Maklumat yang ada di Pulau Penyengat.
Sayangnya, kala itu pengelola Balai Maklumat sedang tak ada di tempat. Jadi rombongan kami tidak bisa mencari tahu lebih lanjut soal arsip-arsip kitab yang ada kini.
Kitab-kitab yang ada di Khutub Khanah juga, selain ditulis dalam huruf Arab gundul yang mulai langka, juga banyak yang ditulis dalam huruf Arab Melayu.
Huruf-huruf tersebut kini sudah tak banyak yang menggunakannya sehingga sulit untuk mencari orang yang memang bisa membaca dan mengarsipkan kitab-kitab tersebut.
“Kendalanya karena sudah tidak banyak yang bisa baca. Orang-orang tua banyak yang bisa, tapi anak muda seperti saya bisa, tapi harus meraba-raba,” tutur Raja Farul yang akrab disapa Farul.
Raja Abdurrahman sebagai satu-satunya pemegang kunci lemari Khutub Khanah mengaku tidak adanya dana menjadi salah satu halangan terbesar untuk bisa mengembangkan kajian soal kitab-kitab yang ada di sana.
Untuk mengkaji kitab-kitab tua tersebut, diperlukan dana yang tidak sedikit. Kerapuhan kitab dan lamanya proses pengkajian mengharuskan adanya ahli-ahli yang mau terlibat secara maksimal.
“Dulu ada dari lembaga dari Eropa ke sini. Katanya mereka mau bantu untuk pemeliharaan kitab, tapi karena dana dan waktu, jadi tidak berlanjut. Kata mereka, untuk proses seperti ini waktunya memang lama dan prosesnya juga harus dengan alat dan ruangan khusus supaya tidak rusak,” ujar Raja Abdurrahman.
Selain itu, kendala lainnya yang membuat proses pengkajian kitab-kitab tersebut adalah adanya aturan soal larangan pembawaan kitab-kitab tersebut ke luar Pulau Penyengat.
Aturan ini ada karena dahulu sempat diperbolehkan, tetapi banyak kitab yang tidak kembali.
“Kami tidak mau kitab-kitab ini dibawa ke luar Penyengat. Dulu boleh dibawa, tapi akhirnya banyak yang tidak kembali ke sini. Maka dari itu, sekarang kalau mau mengkaji harus di Penyengat saja,” jelas Raja Abdurrahman.
Kini, wisatawan atau ilmuwan yang ingin melihat kitab-kitab dalam Khutub Khanah harus berkoordinasi lebih dahulu dengan Raja Abdurrahman. Pasalnya, hanya ia yang memegang kunci lemari tersebut untuk alasan keamanan.
Baca juga: Panduan Lengkap Menghabiskan Sehari di Pulau Penyengat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.