Selain anggaran dana yang besar dan terencana, langkah awal yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah mengembangkan lima destinasi pariwisata super prioritas, antara lain Danau Toba (Sumatera Utara), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Borobudur (Jawa Tengah), Likupang (Sulawesi Utara) dan Mandalika (Nusa Tenggara Barat), untuk menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kelima tempat tersebut rencananya akan di-branding menjadi destinasi wisata Bali “baru” atau premium untuk mencapai target pemerintah di tahun 2019, yaitu mendatangkan kurang lebih sekitar 20 juta wisatawan mancangara.
Salah satu contohnya adalah pemerintah akan mematok harga tiket masuk Labuan Bajo sebesar kurang lebih 1000 dolar AS atau sekitar Rp 14 juta per orang.
Dengan kata lain hanya wisatawan asing atau lokal dari kalangan atas saja yang dapat menikmati keindahan alam salah satu UNESCO World Heritage ini.
Pengembangan sektor pariwisata dalam konteks ini memang dilematis.
Di satu sisi upaya pemerintah mendongkrak industri pariwisata untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi negara melalui devisa harus kita apresiasi. Tetapi di sisi lain, masyarakat akan terkena dampak diskriminatif dari kebijakan ini.
Salah satu wacana yang berkembang adalah keluhan wisatawan domestik tentang sulitnya akses menikmati destinasi wisata lokal. Muncul anggapan, “Wisata di negara sendiri lebih mahal dibandingkan berlibur ke luar negeri.”
Secara umum, sektor pariwisata memang banyak memberikan dampak positif seperti menyumbang devisa negara terbesar kedua, menyerap tenaga kerja, pembangunan berkelanjutan, menaikkan citra negara di mata dunia dan masih banyak lagi.
Tetapi, terlepas dari berbagai dampak positif kita juga harus memperhatikan dampak negatifnya, terutama dampak langsung pada masyarakat lokal yang bermukim di sekitar destinasi wisata.
Meski dalam skala nasional pariwisata merupakan penyumbang devisa terbesar kedua di Indonesia, namun dampak ekonominya tidak selalu merata dirasakan masyarakat di sekitar area destinasi.
Artinya, pemerintah harus juga mampu memikirkan strategi yang efektif demi kesejahteraan masyarakat.
Masalah lainnya, secara sosial dan budaya berkembangnya destinasi wisata akan berdampak langsung pada perubahan perilaku masyarakat lokal.
Perubahan lingkungan dan interaksi sosial dengan wisatawan asing akan mempengaruhi nilai-nilai budaya lokal seperti gaya hidup, kriminalitas, celah sosial yang tinggi, sikap materialistik yang tinggi, dan lain-lain.
Selain itu, lingkungan alam juga akan terkena dampak langsung dari penguatan sektor ini.
Contoh paling konkret adalah meningkatnya polusi, perluasan lahan wisata yang secara langsung akan menghilangkan habitat flora dan fauna, terganggunya kehidupan satwa liar, kekurangan persedian air bersih, dan masih banyak lagi.
Dengan merujuk pada sekelumit permasalahan di atas, kita tentunya menaruh harapan besar pada Wishnutama untuk dapat mengelola sektor pariwisata dan memikirkan strategi yang efektif untuk mengantisipasi berbagai dampak yang ditimbulkan.
Singkatnya semua pihak terkait, baik pemerintah maupun masyarakat, harus saling bersinergi satu sama lain secara kreatif dan inovatif untuk mewujudkan pengembangan sektor pariwisata yang tidak hanya berorientasi pada penguatan sektor ekonomi tetapi juga pada keberlangsungan hidup alam sekitar dan pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat nusantara.
Semoga.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.