JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta yang dulunya bernama Batavia, memiliki menara pemantau aktivitas keluar masuk kapal yang berada di Jalan Pakin, Penjaringan, Jakarta Utara. Kini, menara itu disebut Menara Syahbandar.
Kompas.com berkesempatan berkunjung ke menara yang dibangun pada tahun 1839 ini, Minggu (29/12/2019) pukul 00.00 WIB dalam rangka tur wisata malam Museum Bahari. Tur ini diselenggarakan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI).
Baca juga: Menginap di Museum Bahari, Seramkah?
Selain berfungsi sebagai menara pemantau kapal, menara ini juga berfungsi untuk kantor atau pabean yang berarti tempat pengumpulan pajak atas barang-barang hasil bongkaran di pelabuhan Sunda Kelapa.
Menara tersebut memiliki tinggi 12 meter dengan ukuran 4 x 8 meter. Ada tiga lantai yang dapat dikunjungi.
Selain itu, terdapat juga Tugu Prasasti Titik Nol Kilometer Jakarta pada kala itu. Pada tahun 1977, prasasti ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Meski saat ini, titik nol sudah dipindahkan ke Monumen Nasional atau Monas.
Kami dipandu oleh Amaruli, pemandu wisata Museum Bahari ketika berkeliling dan merasakan nuansa berbeda di Menara Syahbandar pada malam hari.
Suasana gelap dengan sedikit lembab menyapa kami ketika masuk ke ruangan ini. Amaruli lalu menunjukkan koleksi yang ada di lantai dasar sebelum naik tangga, yaitu batu prasasti kedatangan Saudagar China abad 17.
"Ini ada batu, batu ini salah satu batu asli kedatangan Saudagar China dari awal datang sampai meninggal di Batavia. Ini juga jadi penanda titik nol Batavia atau Jakarta," kata Amaruli.
Naik tangga sedikit, pemandu memperlihatkan kepada kami lukisan suasana depan Museum Bahari dan Menara Syahbandar pada zaman kolonial.
Melalui lukisan tersebut tergambarkan bahwa sungai di depan Museum Bahari masih aktif dengan lalu lalang kapal atau perahu tradisional.
Tak hanya itu, pengunjung juga bisa terjatuh jika tidak berhati-hati karena jarak anak tangga satu dengan lainnya cukup jauh.
Naik ke lantai selanjutnya, kami melihat banyak kotak kaca berisi teropong yang masih asli dan berusia hampir satu setengah abad.
"Teropong-teropong ini yang digunakan untuk memantau kapal. Nah ini bisa dipanjangin atau dipendekin. Lensanya sedikit agak cekung. Jadi teropongnya dipanjangin kalau masih jauh terlihat, nah kalau kapal sudah mau mendekat, dia dipendekin," jelas Amaruli.
Kami juga melihat banyak jendela-jendela besar khas bangunan tua yang menurut Amaruli masih dalam kondisi asli.