KOMPAS.com - Dilansir laman CNN, seekor ikan tuna sirip biru atau bluefin baru saja terjual dengan harga fantastis yaitu 193 juta yen atau setara dengan Rp 25 miliar.
Tuna sirip biru dengan bobot 276 kilogram itu di lelang saat tahun baru di Pasar Ikan Tokyo Toyosu, Minggu (5/1/2020).
Baca juga: Seekor Ikan Tuna di Jepang Laku Dijual Rp 25 Miliar
Menurut The Japan Times, tuna bluefin dikenal di Jepang sebagai hon-maguro atau "tuna sejati".
Sayangnya, meskipun tuna jenis ini sangat populer, populasinya di dunia sangat rendah, karena penangkapan yang berlebihan.
Bagaimana sejarah tuna bluefin diburu dan digemari?
Pada ratusan tahun lalu, potongan daging tuna hanya disajikan untuk kucing. Tuna sempat dianggap sebagai hidangan tidak diinginkan dan cocok untuk masyarakat kelas bawah.
Ada dua alasan utama mengenai hal tersebut. Pertama, tuna dalam bahasa Jepang kuno adalah shibi. Kata yang masih digunakan di beberapa bagian Jepang itu bermakna "hari kematian".
Alasan lainnya adalah pada era tersebut manusia belum mengenal mesin pendingin. Saat ingin menyantap ikan, maka ikan akan dibiarkan hidup selama mungkin untuk memastikan kesegarannya.
Tuna yang memiliki ukuran besar seringkali tidak dapat hidup dalam jangka waktu lama, sehingga dagingnya membusuk dengan cepat. Bagian-bagian berlemak dari ikan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan bagian tanpa lemak.
Baca juga: Gunakan Kaldu dan Abon Tuna, Nasi Kuning Gorontalo Mempertahankan Cita Rasa
Orang Jepang pun sangat tidak menyukai bagian itu, sehingga bagian berlemak dianggap cocok untuk makanan kucing.
Reputasi tuna saat itu hanya untuk masyarakat kelas bawah. Hingga tahun 1890-an, sebagian besar tuna dikonsumsi oleh nelayan yang menangkapnya, dan keluarga mereka. Mereka juga menghindari bagian berlemak.
Bagian-bagian berlemak itu yang disebut otoro, kini menjadi bagian paling diminati dan mahal dari ikan apa pun.
Sepotong otoro (daging perut berlemak) adalah salah satu potongan paling berharga yang dapat masukkan ke dalam mulut penikmatnya.
Otoro dikonsumsi dalam jumlah besar sejak 1920-an. Ketika itu dijual sebagai makanan darurat dan murah dari kios-kios jalanan setelah Gempa Kanto Besar 1923.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.