Tidak hanya di China, India juga memiliki kepercayaan sendiri dalam menyantap kelelawar. Namun, mereka lebih merujuk pada minyak kelelawar yang dibuat dari lemak kelelawar yang dicampur dengan darah hewan tersebut, minyak kelapa, dan kapur barus.
Minyak kelelawar dikatakan dapat menyembuhkan reumatik dan radang sendi. Sementara di Kamboja, minyak kelelawar digunakan sebagai obat batuk anak.
Di balik beberapa kepercayaan kuno ini, kini kelelawar dianggap hanya sebagai santapan biasa bagi beberapa orang di kawasan Asia dan Pasifik.
Bahkan, salah satu jenis kelelawar di Teritori Guam mengalami kepunahan akibat diburu.
Salah satu jenis kelelawar yang paling dicari untuk disantap adalah kelelawar pemakan buah atau codot.
Kelelawar codot merupakan jenis kelelawar yang sangat mudah ditemukan di Filipina, Indonesia, dan beberapa negara lain dalam gugus kepulauan Mikronesia.
Terkait penggunaan kelelawar sebagai obat, melansir National Geographic, terdapat beberapa kepercayaan bahwa darah kelelawar dapat digunakan untuk menyembuhkan penderita epilepsi. Salah satu negara yang kental akan kepercayaan tersebut adalah Bolivia.
Menurut seorang ahli antropolog University of Mississippi Kate McGurn Centellas, kepercayaan akan darah kelelawar tersebut kemungkinan datang dari anggapan masyarakat bahwa kelelawar merupakan hewan kuat yang memiliki beberapa karakter unik.
Baca juga: Tak Hanya Sup Kelelawar di China, Ini Ragam Kuliner Kelelawar di Dunia
“Ada kemungkinan bahwa dengan meminum darah kelelawar, mungkin kamu dapat membenarkan dan menyeimbangkan apa yang dilihat sebagai gangguan atau ketidakseimbangan dalam tubuh manusia. Seperti kejang, atau dalam istilah medis adalah epilepsi,” tutur Centellas.
Mengutip sebuah studi “Trafico y Comercio de Murcielagos en Bolivia” (2010) yang ditulis oleh Dennis Lizzarro dan Luis F. Aguirre, setidaknya terdapat kurang lebih 3.000 kelelawar yang dijual setiap bulannya di empat kota di Bolivia.
Beberapa spesies kelelawar yang dijual antara lain adalah kelelawar buntut pendek Seba (Carollia perspicillata), kelelawar kuping tikus (Myotis), dan kelelawar kecil yang memiliki hidung berbentuk daun (Desmodus rotundus).
Tradisi menyantap hewan liar, termasuk kelelawar, bisa dirunut hingga 50.000-70.000 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, nenek moyang manusia modern menyebar ke berbagai penjuru, seperti Asia Australia, Eropa, dan Amerika.
Seperti dikutip dari National Geographic Indonesia, Maret 2006, para nenek moyang manusia tersebut hidup bergerak menjelajahi gunung dan padang. Pergerakan selama ribuan tahun ini seiring dengan pergerakan hewan yang kerap diburu untuk dimakan.
Baca juga: Makanan Minahasa, Ketika Tikus Mengalahkan Sapi
Tradisi yang dibawa nenek moyang itu bertahan di sebagian masyarakat Afrika, Asia, dan Amerika Selatan yang tinggal dekat savana, semak-semak, atau hutan. Orang Afrika Barat dan Afrika Tengah mengonsumsi gajah, antelop, rusa, zarafah, dan monyet-monyet besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.