JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagi makanan antar sesama manusia dalam tradisi ngelawar di Bali memiliki makna lebih dalam dari sekadar kedekatan.
Guru besar pariwisata Universitas Udayana I Gede Pitana mengatakan, tradisi lawar erat dengan Hari Raya Galungan, namun juga bisa dilakukan saat berkumpul bersama teman dan keluarga.
"(Tradisi lawar) nilainya sangat tinggi dan mengakrabkan. Sebenarnya, saat kumpul bisa tidak usah lawar dan beli makanan cepat saji, tapi nilainya bagi kami beda," kata Pitana saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Baca juga: Susah tetapi Seru, Belajar Masak Lawar dan Sate Lilit
Pitana menambahkan, tradisi tersebut memiliki makna tersendiri, yakni kedekatan, kebersamaan dan kesetaraan antar-manusia yang berpartisipasi dalam lawar.
Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, ngelawar memiliki asal kata dari lawar yang artinya adalah campuran bumbu makanan.
Sementara ngelawar artinya adalah tradisi meracik bumbu masakan Bali.
Baca juga: Nikmatnya Sate Lilit dan Lawar Bali di Bazar Belgia
"Ngelawar ini berkembang sejak zaman kerajaan Bali. Biasanya ngelawar ini berkembang secara merata di sekitar kerajaan, karena Raja Bali senang sekali menikmati lawar," kata Sudiana saat dihubungi Kompas.com, Senin (17/2/2020).
Beberapa bahan lawar secara umum terdiri dari daging dan kulit yang direbus dan dibumbui gede atau bumbu lengkap.
Selain itu, lawar juga biasanya akan disertai dengan berbagai macam sate, balung dan daging lainnya.
Baca juga: Pelesir ke Sangeh? Mampir dan Cicipi Lawar Sapi Men Daging
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.