JAKARTA, KOMPAS.com - Sekilas mungkin akan bingung apa gerangan yang dijual gerobak warna cokelat polos di Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat. Namun yang pasti ada saja orang yang mampir dan bersantap di dekat gerobak tersebut.
Gerobak cokelat tanpa merek tersebut tak lain milik Wahyu. Ia berjualan gado-gado di kawasan Menteng sejak 1981.
Lokasi mangkal Wahyu ini memang tidak berada di jalan besar. Lokasi yang mblusuk ini menjadikan Gado-gado Pak Wahyu tidak begitu diketahui orang, kecuali warga sekitar.
Namun soal rasa, boleh dibilang Gado-gado Pak Wahyu ini tak kalah dengan gado-gado dengan merek mentereng di Jakarta.
Di usianya yang sudah mencapai 59 tahun, Wahyu terlihat masih cekatan mengulek bumbu kacang dan mencampurnya dengan beragam sayuran rebus.
Sesekali dirinya bertanya pada pelanggan sebanyak apa cabai yang mereka inginkan.
Baca juga: Segarnya Es Teler Sari Mulia Asli sejak 1970-an, Apa Saja Isinya?
Wahyu mulai berjualan gado-gado secara mandiri sejak tahun 1981. Kala itu, ia yang masih berusia 20-an memutuskan ingin mampu menghasilkan uang secara sendiri.
“Awalnya berjualan di Jalan Sawo tahun 1978. Ikut paman dulu pertamanya, tiga tahun. Baru pindah kemari tahun 1981, jualan sendiri. Sampai sekarang,” ujar Wahyu pada Kompas.com, Rabu (4/3/2020).
Kala itu ia merasa perlu berguru pada pamannya yang sudah ahli membuat gado-gado. Setelah dirasa cukup mahir, ia pun akhirnya membuka usaha sendiri yang bertahan hingga kini.
“Bantu-bantu paman dulu, terus baru paman nyuruh ulek bumbu sendiri," kenang Wahyu.
Ia ingat betul ketika pertama membuat gado-gadonya, ia dan pamannya menyantapnya bersama.
"Berapa kali coba terus pas rasanya udah sama kayak yang paman baru dia suruh untuk buka usaha sendiri,” lanjutnya.
Baca juga: Cerita Nostalgia Pelanggan Setia Bubur Cikini yang Berdiri Sejak 1960an
Wahyu menuturkan, dahulu tak hanya dirinya saja yang berjualan di lokasi saat ini.
Sempat ada gerobak pecel, bakso, pangsit, dan cendol berjejer dengan gerobak gado-gado miliknya.
Namun seiring berjalannya waktu, para pedagang tersebut tak lagi berjualan. Ada yang memang tutup usia dan ada juga yang karena sakit.
Kini hanya tinggal Wahyu saja yang gerobaknya masih setia ada di sana. Air mukanya berubah sedih ketika mengingat teman-teman seperjuangannya.
Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat ini setiap hari mengendarai sepeda dari rumahnya yang berada di Tanah Tinggi, Jakarta.
Ia juga masih konsisten membuat segala bumbu dan bahan gado-gado buatannya sendiri, termasuk menggiling kacang untuk bumbu.
“Bikin sendiri bumbunya. Kacang juga giling sendiri di rumah. Dari dulu tahun '80-an masih ditumbuk, sekarang ya sudah pakai alat gilingan,” jelas Wahyu.
Setiap hari ia bisa menghabiskan sekitar 2,5 kilogram kacang untuk dijadikan bumbu yang ia giling setiap pagi.
Bumbu tersebut hampir selalu habis, bersamaan dengan sekitar 50 porsi gado-gado.
Baca juga: Nostalgia Tiga Generasi di Soto Betawi Haji Maruf, Berdiri Sejak 1940
“Dulu bisa sampai 200 porsi pas masih ada kantor P&K (Dirjen Pendidikan dan Kebudayaan). Kantornya pindah tahun 1997 ke Senayan,” kenang Wahyu.
"Saya disuruh ikut tapi enggak deh kayaknya enggak ada tempat buat taruh gerobak juga di sana,” sambung dia.
Namun semenjak kantor tersebut pindah lokasi, Wahyu mengaku jumlah penjualannya berkurang cukup jauh.
“Kantornya pindah langsung jatuh (omsetnya). Terus habis itu ada krisis moneter juga. Itu benar-benar mulai dari nol lagi. Kaget lah, orang kantor juga banyak yang PHK kan,” tutur Wahyu.
Setelah satu tahun berjuang, kondisi dagangan Wahyu mulai bisa kembali normal. Walau memang omsetnya tak pernah setinggi biasanya.
Saat kantor P&K masih ada di Jalan Semarang, tempat Wahyu berjualan, ia mengaku sampai harus menyewa anak buah untuk membantunya menyajikan gado-gado.
Pasalnya, selain jumlah pesanan yang sangat banyak ia juga butuh bantuan untuk mengantarkan gado-gado ke dalam kantor, menghampiri para pemesannya.
“Kan karyawan banyak banget kan. Sekali pesan satu ruangan itu bisa 20-30 porsi. Saya kewalahan kalau sendiri.”
Berbeda dari pedagang kebanyakan, Wahyu hingga kini tidak bekerja sama dengan layanan ojek online.
Baca juga: Kisah Pempek Megaria yang Legendaris, Berawal dari Anak Kuliah Nekat
Alasannya, ia tak mau dibuat repot mengurusi sistem pemesanan online. Apalagi ia berjualan gado-gado hanya sendirian.
“Ribet kalau online. Saya juga enggak punya nomor telepon. Dulu sempat punya handphone, tapi pas lagi cuci piring malah jatuh masuk ke got. Dari situ sudah malas saya,” ujar Wahyu seraya tertawa.
Hingga kini, Wahyu terus berniat untuk berjualan gado-gado miliknya hingga ia tidak lagi mampu berjualan.
“Belum tahu siapa yang meneruskan. Anak ada tiga tapi sudah pada kerja di luar. Dua sudah berkeluarga, tapi yang satu masih kecil masih SMP jadi ya saya masih akan jualan aja terus,” tutup Wahyu sambil tersenyum.
Jika ingin menyantap Gado-gado Pak Wahyu berkunjunglah ke Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat. Patokannya gerobak Wahyu mangkal tak jauh dari SDN 03 Menteng, di seberang Hotel The Hermitage Jakarta.
Gado-gado Pak Wahyu merupakan rumah makan keenam dari liputan khusus bersambung "50 Tempat Makan Legendaris di Jakarta".
Artikel rekomendasi tempat makan legendaris di Jakarta ini akan tayang setiap Jumat selama 50 pekan ke depan. Nantikan kisah para perintis kuliner Jakarta berikutnya di Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.