Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orang Jepang, China, dan Korea Sering Pakai Masker, Ternyata Ini Alasannya...

Kompas.com - 02/04/2020, 19:34 WIB
Nabilla Ramadhian,
Yuharrani Aisyah

Tim Redaksi

Sumber Quartz

KOMPAS.com – Pandemi global virus corona ( Covid-19 ) membuat sebagian masyarakat menggunakan masker. Seperti masker bedah, masker kain, sampai masker n95.

Baca juga: Gerakan Masker Kain, Ajakan untuk Desainer Lokal Produksi 100.000 Masker Kain

Untuk penggunaan masker kain, walaupun hingga saat ini belum ada cukup penelitian terkait efektivitas masker tersebut untuk mencegah infeksi, tetapi terdapat beberapa panduan penggunaan masker kain.

Baca juga: Mengapa Kebijakan Penggunaan Masker Tiap Negara Berbeda

Sementara itu, masker bedah atau surgical mask dan masker n95 tak dianjurkan dipakai orang sehat melainkan untuk tenaga medis. Digunakan juga untuk pasien ODP, PDP, maupun positif Covid-19.

Terkait penggunaan masker, rupanya sebelum adanya wabah Covid-19 masyarakat di beberapa negara Asia sering pakai masker di tempat umum.

Melansir Quartz, fenomena penggunaan masker sudah tidak asing lagi di negara seperti Jepang, China, dan Korea Selatan.

Label Cotton Ink turut memproduksi masker kain untuk membamtu mencegah penularan virus corona. Masker tersedia dalam dua jenis, yaitu ear loop dan head loop (bisa untuk pengguna hijab dan dilingkarkan mengelilingi kepala).cottonink.co.id Label Cotton Ink turut memproduksi masker kain untuk membamtu mencegah penularan virus corona. Masker tersedia dalam dua jenis, yaitu ear loop dan head loop (bisa untuk pengguna hijab dan dilingkarkan mengelilingi kepala).

Semenjak adanya wabah SARS pada 2002 dan kepanikan flu burung pada 2006, penggunaan masker juga beralih pada imigran Asia di Amerika.

Bahkan saat adanya virus Ebola, para imigran tersebut juga tetap mengenakan masker walaupun jumlah infeksi Ebola di Amerika pada saat itu turun menjadi nol.

Otoritas kesehatan pun mengatakan kepada masyarakat setempat bahwa Ebola hampir pasti tidak bisa ditularkan melalui udara.

Nyatanya, masker bedah berbahan kain tenun hanya memberikan perlindungan secara minimal dari beberapa virus lingkungan.

Namun, kegunaan sebenarnya masker tersebut merupakan alasan lain dari mengapa mereka kerap digunakan tidak hanya oleh masyarakat terutama dari negara Asia yang telah disebut.

Masker di Jepang: melindungi dari pandemi influenza sampai aksesori street style

Kebiasaan menggunakan masker bermulai di Jepang di beberapa tahun pertama abad ke-20.

Saat itu, terjadi pandemi influenza yang menyebabkan kematian 20 – 40 juta masyarakat di seluruh dunia, lebih banyak dari angka kematian saat Perang Dunia I.

Terdapat wabah penyakit di setiap benua yang ada, termasuk Asia. Bahkan di India wabah tersebut menyebabkan kematian 5 persen populasi warganya.

Menutup wajah menggunakan syal, kerudung, atau masker menjadi cara untuk menangkal penyakit di beberapa belahan dunia hingga epidemi tersebut hilang di akhir tahun 1919.

Di Jepang, beberapa tahun kemudian, gempa besar di Kanto pada tahun 1923 menyebabkan api besar yang menyebabkan hampir 600 ribu rumah di bagian negara yang padat terbakar.

Setelah gempa tersebut, langit Jepang dipenuhi oleh asap dan abu berminggu-minggu lamanya. Kualitas udara juga turun hingga berbulan-bulan.

Pejalan kaki di Ginza, Tokyo, mengenakan masker untuk mencegah penyebaran virus Corona yang berasal dari Kota Wuhan, China, 25 Januari, 2020.

AFP/CHARLY TRIBALLEAU Pejalan kaki di Ginza, Tokyo, mengenakan masker untuk mencegah penyebaran virus Corona yang berasal dari Kota Wuhan, China, 25 Januari, 2020.

Masker wajah tidak lagi disimpan di tempat penyimpanan dan menjadi aksesoris khas pinggiran jalan Tokyo dan Yokohama.

Epidemi flu global kedua pada 1934 membuat hubungan Jepang dan penggunaan masker menjadi semakin erat. Sebab, masker menjadi sering digunakan selama bulan-bulan musim dingin.

Terlebih lagi karena masyarakat Jepang menjaga kesopanan sosial sehingga bila sedang batuk dan pilek berusaha menghindari penularan virus ke orang lain.

Selanjutnya pada tahun 1950an, industrialisasi di Jepang seusai Perang Dunia II membuat polusi udara semakin marak.

Pohon cedar yang kaya akan serbuk sari juga mengalami pertumbuhan yang subur karena adanya peningkatan karbondioksida.

Menggunakan masker pun sudah tidak lagi karena pengaruh musiman tetapi menjadi sebuah kebiasaan sepanjang tahun.

Alasan filosofi di balik penggunaan masker

Saat ini, konsumen Jepang membeli 230 juta dolar AS masker bedah setahun, setara dengan Rp 3 triliun.

Beberapa negara tetangga yang mengalami masalah polusi parah seperti China dan Korea juga telah mengadopsi kebiasaan tersebut.

Kendati polusi dan penyakit yang ditularkan melalui udara ada dimana-mana, namun terdapat alasan filosofi yang mendasar. K

etiga negara tersebut dipengaruhi oleh Taoisme dan ajaran kesehatan pengobatan tradisional China.

Kedua hal tersebut dipandang sebagai elemen sentral kesehatan yang baik. Seorang praktisi bersertifikat akupunktur dan obat herbal di Los Angeles bernama Michelle M. Ching mengatakan bahwa “Qi” merupakan konsep sentral di kosmologi China.

Penumpang kereta commuter di Tokyo, Jepang, mengenakan masker pelindung, menyusul penyebaran virus Corona dari Kota Wuhan China, 28 Januari 2020.AFP/BEHROUZ MEHRI Penumpang kereta commuter di Tokyo, Jepang, mengenakan masker pelindung, menyusul penyebaran virus Corona dari Kota Wuhan China, 28 Januari 2020.

Konsep yang juga menjadi sentral dalam fisiologi tersebut umumnya memiliki kaitan dengan energi dan uap.

“Qi memiliki banyak arti dalam bahasa China termasuk udara (kong qi), atmosfer (qi fen), dan bau (qi wei). Hal ini mungkin alasan lain mengapa masker sangat diperlukan di China,” tutur Ching, mengutip Quartz.

“Kekatan (li qi) dan patogen (xie qi). Saat qi dalam tubuh habis atau gerakannya berubah, rasa sakit dan penyakit akan berkembang. Bernafas menjadi sangat penting untuk menjaga qi dalam tubuh,” tambahnya.

Sementara itu, masuknya “feng” atau angin berbahaya dianggap sebagai yang paling kuat dan umum dalam penyakit yang disebabkan oleh “Enam Penyebab Eksternal” dalam dunia pengobatan tradisional China.

Berbicara mengenai angin, Ching menuturkan bahwa angin dapat menghembuskan pintu hingga terbuka, meniupkan udara dingin dari air ke daratan sekitarnya, atau menghembuskan api dari satu bagian hutan ke bagian lainnya.

“Analogi pintu berkaitan dengan pemahaman obat tradisional China terhadap bagaimana paparan angin dapat melemahkan pertahanan tubuh manusia,” tutur Ching.

Sebagai gambaran yang lebih jelas, Asia Timur memiliki banyak mitos seputar udara dan angin.

Mitos paling terkenal adalah ketakutan untuk tidur di ruangan yang memiliki kipas angin listrik yang menyala.

Kepercayaan tersebut berasal dari Korea. Bahkan, di sana terdapat fobia kematian karena kipas angin yang hingga saat ini masih ada.

Di Asia Timur, kecenderungan mengenakan masker untuk mencegah paparan udara buruk merupakan sesuatu yang mendahului teori kuman penyakit dan meluas ke dasar budaya Asia Timur.

Pejalan kaki di Ginza, Tokyo, mengenakan masker untuk mencegah penyebaran virus Corona yang berasal dari Kota Wuhan, China, 25 Januari, 2020.

AFP/CHARLY TRIBALLEAU Pejalan kaki di Ginza, Tokyo, mengenakan masker untuk mencegah penyebaran virus Corona yang berasal dari Kota Wuhan, China, 25 Januari, 2020.

Masker di masa modern berubah menjadi dinding sosial

Beberapa penelitian menemukan bahwa di antara banyaknya anak muda di Jepang, masker telah berevolusi menjadi sebuah dinding sosial.

Anak muda yang sehat sekarang juga mengenakan masker bersamaan dengan headset. Hal ini dilakukan sebagai penanda bahwa mereka tidak ingin berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.

Hal ini juga berlaku bagi para wanita muda yang berusaha untuk menghindar dari pelecehan di transportasi umum. Masker juga dianggap memberikan sebuah anonimitas.

Selain itu, masker juga telah menjadi elemen gaya khas Asia Timur. Di Jepang, masker bedah dengan desain unik atau gambar lucu berlisensi dapat dibeli di setiap sudut toko.

Sementara di China Fashion Week, seorang desainer bernama Yin Peng meluncurkan “smog couture”, koleksi pakaian yang dipasangkan dengan berbagai macam masker. Salah satunya ventilator menyerupai topeng Darth Vader.

Penggunaan masker di tengah wabah virus corona

Masker bedah, masker kain, dan masker n95 digunakan oleh sebagian masyarakat dunia untuk mencegah virus corona.

Kendati masker kain bisa digunakan untuk mencegah virus corona, masyarakat tetap diimbau untuk menjaga jarak aman 1 – 2 meter.

Dalam membuatnya, masker bisa kamu jahit dengan pola yang menutupi hidung dan mulut menggunakan bahan kaus. Semakin tebal kainnya makan efektivitas akan semakin baik.

“Coba pikirkan untuk menggunakan kaus katun tebal atau kain tebal,” kata seorang ilmuwan Virginia Tech yang juga pakar dalam penularan virus di udara, Linsey Marr, mengutip Kompas.com.

Baca juga: Tangkal Virus Corona, Amankah Pakai Masker Kain Buatan Sendiri?

Kamu juga bisa menggunakan tiga kain bandana yang dilipat terlebih dahulu sebelum digunakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com