Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Desa Eyam di Inggris, Contoh Pentingnya Isolasi dan Karantina

Kompas.com - 15/04/2020, 21:07 WIB
Nabilla Ramadhian,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

Kendati menghadapi kemungkinan kematian yang lebih besar, namun mereka memastikan perlindungan tetangga mereka.

Karantina di Desa Eyam

Para penduduk Desa Eyam memutuskan untuk mengisolasi diri mereka sendiri. Salah satunya dengan cara membuat pembatas dari bebatuan.

Penduduk Desa Eyam bersumpah untuk tidak melewati pagar pembatas. Termasuk mereka yang masih sehat, tidak menunjukkan gejala apapun.

Hal tersebut dilakukan guna memastikan bahwa penduduk tetap berada di wilayah mereka, dan menjaga orang lain tetap di luar.

Pembatas dari bebatuan diletakkan mengelilingi desa untuk menciptakan zona isolasi tersendiri. Selama beberapa bulan, tidak ada yang memasuki atau keluar dari Desa Eyam.

Meski begitu, para penduduk tetap bisa menerima makanan dan pasokan yang dibutuhkan. Mereka membentuk sebuah sistem yang memanfaatkan pembatas tersebut.

Mereka membuat lubang-lubang di bebatuan tersebut dan meninggalkan koin yang telah dibasahi air cuka yang dipercaya sebagai disinfektan.

Baca juga: Intip 2 Hotel yang Disiapkan Kemenparekraf untuk Tenaga Medis Covid-19

Para pedagang dari desa-desa sekitar akan mengumpulkan uang tersebut dan meninggalkan bungkusan daging, gandum, dan pernak-pernik.

Sebenarnya tak semua penduduk Desa Eyam mau dikarantina, kebijakan tersebut terus diperdebatkan. Namun sebagian besar penduduk Desa Eyam menerima kebijakan karantina tersebut.

Banyak yang sadar, jika mereka pergi dari Desa Etam, mereka tidak akan menerima sambutan hangat di tempat lain.

Hal ini terjadi ketika seorang wanita meninggalkan Desa Eyam untuk pergi ke pasar di desa terdekat bernama Tideswell.

Desa Tideswell terletak delapan kilometer dari barat Eyam. Saat warga setempat menyadari bahwa dia berasal dari Eyam, mereka melemparinya dengan makanan dan lumpur sembari berterika, “Wabah! Wabah!”

Lingkungan desa menjadi terbengkalai

Desa mulai runtuh ketika banyak orang yang meninggal. Jalanan menjadi hancur, kebun tidak terawat, dan hasil panen tidak terpetik di ladang.

Baca juga: Air Tahiti Nui Pecahkan Rekor Rute Penerbangan Terpanjang Dunia 2020 karena Covid-19

Para penduduk kini bergantung pada paket-paket makanan dari kota-kota sekitarnya. Secara harfiah, mereka tinggal bersama kematian. Tidak tahu siapa yang akan menjadi mangsa selanjutnya dari wabah tersebut.

Beberapa langkah khusus dilakukan untuk menghentikan wabah kian merebak. Pada paruh pertama tahun 1666, sebanyak 200 orang telah meninggal.

Kuburan keluarga Hancock.BBC/Eleanor Ross Kuburan keluarga Hancock.

Setelah seorang tukang batu meninggal, warga setempat tidak memiliki pilihan selain mengukir batu nisan mereka sendiri.

Salah satunya, Elizabeth Hancock, menguburkan sendiri anggota keluarganya. Mayat diseret menggunakan tali yang diikat di kaki korban wabah tersebut guna menghindari kontak dengan mereka.

Kebaktian di gereja-gereja pun dilakukan di luar ruangan untuk mengurangi penyebaran penyakit. Akan tetapi, pada Agustus 1666 wabah kian memberi dampak yang menghancurkan.

Dari populasi yang kini hanya 344 orang, sebanyak 267 orang telah meninggal. Mereka yang tidak terinfeksi wabah dikatakan memiliki sebuah kekebalan khusus.

Hari ini, “kekebalan khusus” tersebut dianggap sebagai kromosom.

Kekenalan tersebut mampu membuat mereka tidak jatuh sakit. Sementara penduduk lain percaya bahwa ritual takhayul seperti merokok dengan tembakau dan berdoa dengan sungguh-sungguh dapat mencegah penyakit tersebut.

Catatan kepala desa akan kehidupan di tengah wabah

Mompesson memiliki catatan dan catatan paroki dari setiap korban wabah selama periode tersebut. Catatan menunjukkan seluruh keluarga yang meninggal secara cepat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com