Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Unik Desa Pancasila di Kaki Gunung Tambora, Seperti Apa?

Kompas.com - 01/06/2020, 10:15 WIB
Nabilla Ramadhian,
Kahfi Dirga Cahya

Tim Redaksi

 KOMPAS.com – Para pendaki pasti tidak asing dengan Gunung Tambora yang terletak di antara Kabupaten Dompu dan Bima, Pulau Sumbawa.

Gunung tersebut memiliki dua pendakian--Doropeti dan Pancasila. Untuk Jalur Pancasila, pendaki akan naik lewat Desa Pancasila.

Penduduk desa tersebut merupakan transmigran dari berbagai wilayah di Indonesia. Adapun pemilihan nama desa ternyata memiliki sejarahnya sendiri.

Petugas registrasi pendakian Gunung Tambora dan pemiliki penginapan di base camp Desa Pancasila, Syaiful Basri, menuturkan, dulu saat zaman Soeharto terjadi pemerataan penduduk.

“Orang-orang dari seberang, terutama Jawa, trasmigrasi ke pulau-pulau seperti Sumbawa ini,” kata Syaiful di tengah ekspedisi Jelajah Tanpa Batas kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Baca juga: Hari Lahir Pancasila, Kisah Awalnya Ada di Taman Renungan Bung Karno Ende NTT

Dia menuturkan, nama “Pancasila” diberikan sekitar tahun 1980-an oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) pada saat itu.

Penamaan diberikan karena suku bangsa para penduduk desa yang beragam. Nama tersebut hingga saat ini masih disematkan pada desa.

Desa Pancasila terletak di ketinggian sekitar 600 meter di atas laut (mdpl). Namun, desa ini terbilang cukup sepi, serta hanya terdapat beberapa rumah.

Rumah-rumah tersebut mengelilingi sebuah lapangan besar di tengah desa. Di salah satu sisi lapangan, kamu bisa melihat sebuah masjid berukuran besar.

Baca juga: Wujud Pancasila dan Cinta Indonesia di Gereja Katedral Jakarta

Berbagai sudut lapangan kerap dijadikan tempat sapi-sapi mencari makan. Sementara base camp pendaki milik Syaiful terletak di salah satu sisi lapangan.

Kendati letak Desa Pancasila dekat dengan Pintu Rimba, namun akses menuju ke sana terbilang cukup mudah.

Pendaki harus melanjutkan perjalanan darat usai melakukan perjalanan laut atau udara. Mereka yang datang melalui Pelabuhan Poto Tano harus melanjutkan perjalanan selama 8 jam menggunakan mobil carteran.

 Baca juga: Hari Pancasila, Simak Sejarah dan Fakta Menarik Gedung Pancasila

Sementara di Bandara Bima, mereka yang tiba harus melanjutkan perjalanan menggunakan bus umum dan menempuh waktu sekitar 4 – 5 jam. Bus tersebut hanya beroperasi hingga 16:00 WITA.

Seperti namanya, "Pancasila", desa ini memiliki penduduk yang rukun dan saling bertoleransi satu sama lain.

“Dari awal desa ini tumbuh, sekitar tahun 1970-an, kerukunan antar suku bangsa benar-benar dijunjung. Desa yang isinya para transmigran bisa rukun,” kata Syaiful.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com