Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Rempah di Indonesia, Ada Pengaruh dari India, Spanyol, dan Portugis

Kompas.com - 01/06/2020, 22:42 WIB
Nabilla Ramadhian,
Yuharrani Aisyah

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia dikenal akan segudang rempah yang digunakan sebagai bumbu pelengkap makanan.

Melimpahnya rempah Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah membuat bangsa-bangsa Eropa datang ke Nusantara untuk berburu dan menguasai rempah-rempah.

Baca juga: Rempah yang Paling Sering Digunakan Orang Indonesia, Tak Sebanyak Zaman Dahulu?

Kendati demikian, ternyata terdapat beberapa rempah yang asalnya bukan dari Indonesia melainkan hasil dari asimilasi para pedagang luar negeri yang datang ke Indonesia.

“Lada yang sering kita gunakan itu bukan tanaman endemik kita. Introduce dari Ghats, India yang kemudian disebarluaskan ke berbagai penjuru Asia Tenggara,” kata Sejarawan dan Pengajar Sejarah Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, dalam sesi webinar bertajuk Goyang Lidah Dengan Rempah-rempah, Senin (11/5/2020).

Selain lada, ada juga jahe, bawang, jinten, dan ketumbar yang berasal dari India yang kemudian disebarkan di Nusantara.

Ilustrasi lada hitamshutterstock Ilustrasi lada hitam

Tidak hanya rempah dari India, ada juga capsicum atau cabai yang kita kenal saat ini yang ternyata berasal dari Amerika. Cabai ini dibawa oleh para pelaut Spanyol dan Portugis.

Dalam lukisan Pemandangan di Pasar Banten (Gezicht op de markt van Bantam) karya Cornelis Claesz (1598), terlihat kegiatan transaksi banyak bahan makanan dari berbagai bangsa.

Kegiatan pada abad rempah itulah yang membuat Indonesia saat ini memiliki banyak sekali ragam bahan makanan.

Abad rempah adalah sebutan untuk periode di mana pada saat itu marak terjadi penelusuran kepulauan Nusantara guna mencari rempah-rempah.

“Jenis-jenis bumbu yang kita budidayakan sekarang ini dihasilkan dari persalingan budaya berbagai bangsa,” kata Fadly.

Selain lukisan Claesz, ada juga peta Hindia Timur milik Petrus Placius yang dilukis oleh Richard Beckit untuk buku Discours of Voyages into ye Easte & West Indies (1598) yang dijadikan sebagai panduan bagi orang Belanda dan orang Eropa untuk menelusuri jejak kepulauan rempah-rempah.

Buah Pala dan Bunga Pala yang dipamerkan dalam tema Banda, Warisan untuk Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (23/9/2017). Pameran ini dalam rangka memperingati 350 tahun Perjanjian Breda dan dilaksanakan pada 20 September - 4 Oktober 2017.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Buah Pala dan Bunga Pala yang dipamerkan dalam tema Banda, Warisan untuk Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (23/9/2017). Pameran ini dalam rangka memperingati 350 tahun Perjanjian Breda dan dilaksanakan pada 20 September - 4 Oktober 2017.

 

Buku masak mengubah penggunaan rempah

Di Eropa pada abad pertengahan, tepatnya pada abad ke-13 hingga ke-15, buku-buku masak mulai terbit. Salah satunya adalah Forme of Curry (1390).

Fadly menuturkan bahwa sebagian besar isi buku masak tersebut menggunakan bahan rempah seperti cengkeh, pala, dan kayu manis.

“Pada saat itu ada kepercayaan bahwa rempah-rempah mampu mentransformasi citarasa kuliner di Eropa. Pada masa-masa sebelumnya, kuliner abad pertengahan dikenal seram karena tidak memiliki selera,” tutur Fadly.

Ekspedisi rempah mulai marak dilakukan

Sejak saat itu, muncul sebuah obsesi di kalangan masyarakat Eropa untuk melacak di mana letak kepulauan rempah-rempah.

Namun sebelum itu, masyarakat India, China, dan Arab sudah lebih dulu menelusuri jejak kepulauan rempah-rempah.

“Melihat catatan orang Eropa bernama Marco Polo, dia mengatakan bahwa negeri Jawa ini kaya akan komoditas seperti lada, pala, narwastu (spikenard), laos, cengkeh. Semua ada di Jawa,” kata Fadly.

“Namun saat itu Marco Polo dan orang-orang Eropa tidak tahu bahwa Jawa hanyalah pelabuhan saja. Sementara pusatnya (rempah) nanti ada di Maluku, yang nantinya diketahui oleh orang Eropa pada masa kemudian,” imbuhnya.

Baca juga: Sejarah Pala, Rempah dengan Kisah Penuh Darah

Selain catatan Marco Polo dalam buku The Travels of Marco Polo (1953), ada juga catatan dari Tome Pires dalam buku The Suma Oriental.

Pires mengatakan bahwa pada abad ke-15, dia diberi kabar oleh para pedagang Melayu yang memberitahu kepada orang-orang Eropa termasuk dirinya bahwa rempah-rempah berada di kawasan timur Indonesia.

“Artinya memang sudah terlihat adanya pelacakkan rempah-rempah oleh orang Eropa pada peralihan abad ke-15 ke abad ke-16,” kata Fadly.

Fadly menuturkan bahwa rempah merupakan bagian dari sebuah peredaran global. Sebab, terjadi juga pertukaran bahan makanan pada abad rempah.

Apa yang diterima dan dikeluarkan Indonesia dari dan ke berbagai benua di dunia merupakan pengaruh dari abad tersebut.

Ilustrasi rempah-rempah Indonesia. SHUTTERSTOCK/READNEO Ilustrasi rempah-rempah Indonesia.

Ada pengaruh pangan dalam abad rempah

Selain rempah luar negeri yang masuk ke Indonesia, ada juga pengaruh pangan yang terjadi dalam abad rempah.

“Pengaruh pangan dari China juga jangan dilupakan. Pada abad rempah juga ada kedelai, bawang putih, pacar cina, ubi cina, kucai, dan lokio,” kata Fadly.

Selain yang sudah Fadly sebutkan, ada juga adas cina, baru cina, buluh cina (sejenis bambu), gadung cina (sejenis ubi), dan kacang cina (nama lain kacang tanah).

Kemudian lada cina, lobak, sawi cina, caisim (sejenis kubis), kailan, lengkeng, lici, dan cincau.
Sementara dari Eropa, pengaruh pangan terlihat dari pengenalan jagung, ubi kayu, terong, nanas, waluh, labu, bit, wortel, seledri, selada, dan kentang.

“Dibawa dari Eropa oleh para pelaut Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 dan ke-17. Artinya tanaman-tanaman ini berhasil ditanam di Nusantara,” kata Fadly.

 

Budidaya ternak dan konsumsi sumber makanan hewani

Selain pangan, kedatangan bangsa Eropa juga memengaruhi adanya budidaya ternak dan konsumsi sumber makanan hewani.

Fadly menuturkan bahwa sebelum kedatangan bangsa Eropa, konsumsi protein hewani di Indonesia zaman dulu sangat rendah.

“Datangnya orang Eropa, tingkat konsumsinya menjadi sangat tinggi. Termasuk teknik pengolahan (makanan) ala Portugis seperti memanggang (assado), mencampur daging dengan bahan bumbu (recheado), merebus (buisado), dan mengukus (bafado),” kata Fadly.

Fadly menuturkan, mengutip hasil penelitian Boileau (2010 & 2011), bahwa ada kemungkinan teknik pengolahan makanan tersebut meresap ke tradisi pembuatan rendang di Sumatera Barat.

ILUSTRASI - RendangShutterstock/Ariyani Tedjo ILUSTRASI - Rendang

Berakhirnya kejayaan rempah-rempah

Fadly menuturkan bahwa kejayaan rempah-rempah berakhir pada akhir abad ke-18. Hal ini sejalan dengan bangkrutnya Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC).

“Pada peralihan ke abad ke-19, Belanda mengubah orientasi politik ekonominya sudah bukan lagi ke rempah tapi ke tanaman komoditas seperti teh, kopi, dan tembakau,” tutur Fadly.

Akibat pengubahan tersebut, Kepulauan Banda menjadi terbengkalai. Menurut catatan ilmuwan Perancis Henri-Alexandre Tessier (1779), Belanda dianggap rakus karena mereka membakar rempah seperti cengkeh dan pala.

Hal ini dilakukan agar negara lain tidak bisa mendapatkan keuntungan dari rempah tersebut. Nyatanya, pada saat itu Perancis melakukan ekspedisi rempah untuk kepentingan sains.

Kendati saat ini Indonesia sudah merdeka, namun rempah-rempah Nusantara tetap harus dijaga dan dilestarikan.

“Rempah bagian dari sejarah, tradisi, dan identitas bangsa Indonesia. Lakukan penyebaran pengetahuan rempah melalui wahana edukasi seperti museum, pameran, seminar, dan diskusi,” kata Fadly.

Fadly juga menuturkan bahwa program edukasi terpadu di Indonesia sangat kurang terkait pembudidayaan rempah-rempah dan pemanfaatan praktis untuk kesehatan dan kuliner.

Pelestarian rempah Indonesia juga bisa dilakukan melalui pemberdayaan petani rempah melalui pengembangan pasar rempah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com