Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/08/2020, 18:08 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Dewantara,
Ni Luh Made Pertiwi F.

Tim Redaksi

PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Yomie Kamale harus memutar otak. Sudah lebih lima bulan Yomie tidak bisa mendulang pemasukan dari kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP).

Terhitung sejak 18 Maret 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai TNTP menyatakan pusat konservasi orangutan terbesar di dunia ini ditutup dari aktivitas pariwisata.

Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kalimantan Tengah ini mencatat sedikitnya 126 pemandu wisata terdampak penutupan aktivitas pariwisata di kawasan taman nasional dengan luasan 415 ribu hektare ini.

Baca juga: 4 Rekomendasi Wisata Sehari di Pangkalan Bun Kalteng

"Untuk pemandu di masa pandemi ini banyak yang mencari dan mencoba pekerjaan lain. Ada yang berjualan online, bekerja di pelabuhan (sebagai buruh angkut), atau buka warung makan kecil-kecilan," ungkap Yomie.

"Ada juga kawan-kawan yang harus menjual barang pribadi untuk menutupi kebutuhan dan bertahan semampunya dengan bekerja serabutan," tutur Yomie.

Yomie sendiri sejak awal Juni lalu mulai membuka warung makan. Menu yang disediakannya mayoritas makanan khas Kumai.

Mulai dari soto ayam, bubur kacang hijau, kolak singkong, hingga coto menggala. Bersama sang istri, Munawarah, warung ini dia kelola di sela-sela kesibukan sebagai Ketua HPI Kalteng.

Dalam beberapa kesempatan Yomie didaulat menjadi pemateri dalam kegiatan yang berhubungan dengan kepemanduan.

Terpaksa jual kelotok

Penutupan kawasan TNTP juga berdampak terhadap paling tidak 25 agen perjalanan, 112 pemilik kelotok wisata, dan 98 orang juru masak yang mengorganisasi diri dalam Tourist Cook Assosiation (TCA).

Tidak salah jika Ahmad Yani, pemilik salah satu agen perjalanan di TNTP, menyebut masa pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan dunia pariwisata di Kabupaten Kotawaringin Barat.

Sebab kawasan TNTP yang selama ini menjadi primadona bagi wisatawan mancanegara tak bisa lagi diandalkan. Ratusan kapal wisata yang dikenal dengan sebutan kelotok, sudah berbulan-bulan hanya ditambat di dermaga wisata Kumai.

Padahal, untuk membuat sebuah kelotok wisata dana yang dikeluarkan bisa mencapai ratusan juta.

"Investasi membuat sebuah kapal dengan ukuran sedang sekarang kira-kira Rp 350 juta," ungkap sekretaris Himpunan Kelotok Wisata Kumai (HKWK) ini, Jumat (7/8/2020)

Karena lama tidak beroperasi, Yani terpaksa melego salah satu kelotok miliknya. Alasannya, menghindari kerusakan dan risiko tenggelam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com