JEMBER, KOMPAS.com – Hening, hanya suara alam yang terdengar. Ada kicau burung, bunyi jangkrik dan katak hingga bunyi derasnya air terjun.
Keheningan alam makin membumi saat ketukan batu memantulkan bunyi seperti gamelan. Bunyi nang ning nung dari ketukan batu seperti memusatkan pikiran pada titik tertentu.
Pengunjung yang datang akan terkesan. Batuan di kawasan wisata Selobonang itu mengeluarkan bunyi.
Saat batu diketuk, akan muncul berbagai jenis nada yang berbeda-beda layaknya alat musik gamelan.
Baca juga: Pantai Payangan, Pesona Bagai Khayangan di Jember Selatan
Wisata Selobonang merupakan tempat wisata baru di Kabupaten Jember yang unik karena menyajikan susunan batu yang mengeluarkan nada saat diketuk. Batu piringan tersebut sudah disusun dengan rapi.
Ada yang menyebutnya, Wisata Geopark di Jember. Alasannya, bebatuan tersebut dinilai berbeda dengan batu lain pada umumnya.
Sampai sekarang, banyak yang masih bertanya asal-usul batu tersebut. Sejumlah mahasiswa juga melakukan penelitian.
Wisata Selobonang tak jauh dari kota Jember, hanya sekitar 15 kilometer dengan waktu perjalanan 36 menit.
Selobonang terletak di lereng pergunungan Hyang dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), tepatnya di Dusun Sumbercandik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk.
Menuju Selobonang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat. Namun, pengunjung harus parkir di bawah. Selanjutnya, perjalanan menuju lokasi dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Bila menggunakan sepeda motor, pengunjung bisa mengendarainya sampai atas atau dekat lokasi dan memarkirkannya di rumah warga.
Jika perjalanan dilakukan menggunakan angkutan umum, pengunjung bisa menggunakan jasa ojek dari terminal arjasa untuk sampai ke tempat wisata Selobonang.
Berawal dari temuan batu piring kecil
Menurut pemilik sekaligus pengelola wisata Selobonang bernama Hadi Poernomo, tempat wisata itu awalnya adalah bukit biasa dengan banyak batu piring. Setelah digali, ternyata ada banyak batu seperti itu.
"Saat itu saya mulai menata bebatuan itu agar lebih rapi. Namun saat mencoba mengetuk batu, ternyata batu tersebut mengeluarkan bunyi," kata dia.
Dari sanalah Hadi mendapat ide untuk mengembangkannya menjadi tempat wisata khusus. Warga sekitar pun turut diajak untuk membantu menata bebatuan itu.
"Ada yang disusun ke atas, seperti candi kecil. Ada yang disusun seperti sebuah ruang tamu. Pengunjung bisa duduk di tempat itu lalu memainkan musik dengen mengetuk bebatuan tersebut," ujar dia.
Saat ini, ada sekitar 80 batu yang sudah terkumpul. Jumlah itu bisa bertambah karena masih banyak batu yang belum disusun.
Selobonang yang cocok sebagai tempat meditasi
Keheningan alam di wisata Selobonang kerap dijadikan tempat meditasi oleh sebagian kalangan.
Pengunjung bisa duduk di atas batu, menyaksikan pemandangan, dan fokus mendengarkan bunyi alam.
Saat matahari mulai tenggelam, hanya ada satu lampu yang menerangi kegelapan malam, yakni di pondok kecil buatan Hadi Purnomo bersama warga. Tempat ini digunakan sebagai tempat singgah sebelum pengunjung bermeditasi.
“Ada juga turis asing yang datang kesana, tau dari Facebook. Turis itu menginap di Selobonang dan mencoba melakukan meditasi pada malam harinya,” kata Hadi.
Baca juga: Teluk Love Jember yang Romantis dengan Bentuk Hati
Meditasi dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya melalui bunyi ketukan dari bebatuan. Ada beberapa titik lokasi yang bisa dijadikan untuk meditasi. Sekitar lima sudut yang bisa ditempati di susunan bebatuan tersebut.
“Untuk meditasi cocok, tempatnya tenang, terletak di ketinggian alam,” kata salah satu pengunjung yang bermalam di sana bernama Khawas Auzkar.
Dia datang bersama temannya untuk menikmati keindahan dan keheningan alam di wisata selobonang.
Menikmati sajian kuliner khas perdesaan
Hadi Poernomo juga bekerja sama dengan warga sekitar untuk menyediakan kuliner khas desa pada pengunjung.
Mulai dari nasi jagung, ikan teri, sayur terong, sayur daun singkong, sambal terasi, sambal teri, polo pendem, pisang kukus, hingga wedang jahe, semua siap dihidangkan kepada pengunjung.
Wadah makanan juga murni dari alam, yakni dari daun jati dan daun pisang. Untuk air, wadahnya adalah kendi. Semua dibuat agar pengunjung bisa menyatu dengan alam melalui makanan khas desa tersebut.
“Jadi berdayakan warga dengan pesan makanan pada mereka,” kata Hadi.
Menurut dia, warga merasa terbantu dengan kerja sama itu karena mereka bisa mendapat penghasilan dari pemesanan makanan. Namun, pemesanan makanan harus berkelompok, minimal lima orang.
Seorang pengunjung lain bernama Adi Faizin pun menuturkan bahwa makanan yang disajikan sangat khas desa dan jarang ditemukan di kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.