Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Mekotek, Adu Nyali di Puncak Tumpukan Kayu pada Hari Raya Kuningan

Kompas.com - 26/09/2020, 14:32 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sabtu (26/9/2020), umat Hindu memperingati Hari Raya Kuningan. Ada tradisi unik yang dilakukan umat Hindu di Bali untuk merayakan Kuningan, salah satunya di Desa Munggu.

Warga Desa Munggu, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali selalu merayakan Hari Raya Kuningan dengan menggelar Tradisi Mekotek.

Diberitakan Kompas.com, Selasa (18/4/2017), Tradisi Mekotek ini dimulai dari siang hari kala ribuan warga sudah berkumpul di depan Pura Puseh Munggu.

Sebagian besar para peserta adalah pemuda yang masing-masing membawa satu batang tongkat kayu sepanjang 2-3 meter. Tongkat kayu itu mereka sebut pulet.

Baca juga: Galungan dan Kuningan Berbeda, Ini Penjelasannya

Tradisi Mekotek juga memiliki nama lain yaitu ngerebeg. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun sejak zaman dahulu dan digelar setiap enam bulan sekali atau 210 hari berdasarkan kalender Hindu.

Keunikan Tradisi Mekotek

Tradisi yang selalu digelar masyarakat Desa Munggu ini terbilang unik. Bahkan, sudah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Keunikannya terletak pada proses tradisi yang diawali dengan warga desa bersembanyang bersama. Usai sembahyang, warga berjalan kaki mengelilingi seluruh desa dengan membawa tongkat.

Tradisi Mekotek di Desa Munggu, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada Hari Raya Kuningan, Sabtu (20/2/2016). KOMPAS.COM/SRI LESTARI Tradisi Mekotek di Desa Munggu, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada Hari Raya Kuningan, Sabtu (20/2/2016).

Selesai berkeliling desa, warga kembali berkumpul di tempat awal yaitu Pura Puseh Desa Adat Munggu.

Prosesi itu diikuti hampir seluruh warga Munggu, terutamanya kaum pria dengan usia antara 12-60 tahun.

Para pria desa Munggu kemudian dibagi dalam beberapa kelompok. Tiap kelompok terdiri sekitar 50 orang.

Kemudian, momen unik yang menjadi daya tarik perayaan Tradisi Mekotek dimulai. Tongkat kayu yang mereka bawa diadu membentuk seperti sebuah piramid.

Baca juga: Inilah Tradisi Mekotek di Hari Raya Kuningan

Uniknya, para peserta prosesi yang punya keberanian, bisa mencoba adu nyali naik ke puncak piramid kayu itu.

Orang tersebut siap memberi komando atau penyemangat bagi kelompoknya. Hal yang sama juga dilakukan kelompok lain. Ia akan menjadi komando yang memberikan perintah untuk menabrak kelompok lainnya.

“Kegiatan ini merupakan suatau tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun, yang dimulai pada zaman jayanya Kerajaan Mengwi yang dulu beristana di Desa Adat Munggu,” kata Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana, Sabtu (15/4/2017).

Tiga makna tradisi Mekotek

Made Sujana melanjutkan bahwa selain unik, ada juga makna dari Tradisi Mekotek. Terdapat tiga makna yang tersirat dari pelaksanaan tradisi ini.

Pertama, penghormatan kepada jasa para pahlawan karena merupakan peringatan kemenangan perang Kerajaan Mengwi dalam hal memperluas wilayah kekuasaan kerajaan saat itu.

Oleh karena itu, hingga saat ini, Tradisi Mekotek dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau tepatnya setiap Hari Raya Kuningan.

Tradisi Mekotek untuk merayakan Hari Raya Kuningan dilakukan oleh warga Desa Munggu, Badung, Bali.shutterstock/Gekko Gallery Tradisi Mekotek untuk merayakan Hari Raya Kuningan dilakukan oleh warga Desa Munggu, Badung, Bali.

Made Sujana melanjutkan, tradisi Mekotek dilaksanakan pada Hari Raya Kuningan karena sebelum bala tentara Kerajaan Mengwi mengadakan perlawanan, Raja bersemadi tepat pada Hari Raya Kuningan.

Makna kedua Tradisi Mekotek adalah sebagai penolak bala atau diyakini akan memberikan keselamatan dan kesuburan atau kemakmuran dalam sektor pertanian di Desa Munggu.

Ia melanjutkan, kepercayaan yang sangat tinggi terhadap tradisi itu untuk memberikan keselamatan dan kemakmuran dibuktikan oleh sempatnya dilakukan pelarangan melaksanakan mekotek oleh penjajah waktu itu, yakni Belanda.

Pada saat itu, penjajah takut karena yang digunakan sebagai media atau alat tradisi itu bukan kayu, melainkan tombak.

Baca juga: Mekotek, Adu Nyali di Puncak Kumpulan Kayu

Belanda pun akhirnya melarang tradisi itu karena takut warga akan melakukan pemberontakan atau perlawanan terhadap mereka.

Pelarangan tradisi yang dilakukan sekitar 5 kali tersebut membuat warga desa banyak yang jatuh sakit atau grubug, bahkan ada yang meninggal dunia.

Sejak kejadian tersebut, para tokoh adat Munggu kemudian melakukan negosiasi dengan pihak penjajah hingga akhirnya tradisi Mekotek kembali dilaksanakan.

Sejak itulah, tradisi Mekotek diyakini memberikan kemakmuran dalam sektor pertanian, begitu pula menangkal penyakit yang masuk ke warganya.

Makna ketiga, tradisi ini merupakan alat pemersatu warga, terutama para pemuda. Dengan melaksanakan tradisi ini, pemuda akan berkegiatan positif dan menjauhi segala macam kegiatan negatif, seperti narkoba, minuman keras, dan ugal-ugalan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com