“400-an anggota kami, yang 170-an itu masih bisa bertahan tapi dengan napas terengah-engah. Kemudian yang 200-an itu hampir mati, dan 30-an itu sudah mati karena kebijakan PPKM ini,” ungkapnya kepada Kompas.com, Jumat.
Dia melanjutkan, hal tersebut terjadi karena biaya yang dikeluarkan untuk operasional hotel jauh lebih besar dibandingkan dengan pemasukan.
Baca juga: 7 Aktivitas Wisata di Pulepayung Yogyakarta, Wisata Malam hingga Yoga
“Sudah tidak kuat lagi di masa pandemi ini. Sudah hampir setahun” ujarnya.
Pada periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) kemarin, Deddy menuturkan bahwa pihaknya menargetkan rata-rata okupansi mencapai 70 persen.
Kendati demikian, pihaknya hanya mendapatkan 18,5 persen okupansi. Persentase tersebut pun kian menurun dan menyebabkan beberapa hotel dan restoran mulai goyah.
Konsekuensi untuk menekan lajunya Covid-19
Singgih mengatakan, dampak yang dirasakan oleh industri pariwisata di Yogyakarta berasal dari terhambatnya pergerakan wisatawan akibat adanya PPKM di Jawa-Bali.
Selain itu, masing-masing daerah pun mengimbau warganya untuk tidak melakukan perjalanan meski bisa dengan menaati sejumlah syarat seperti hasil negatif rapid test antigen.
“Kemudian pembatasan-pembatasan, baik itu jumlah maupun dari sisi jam operasional. Sehingga masyarakat di Jawa dan Bali kemudian mungkin akan menyeleksi aktivitas yang dilakukan. Ditunda dulu dan sebagainya,” ucap Singgih.
Ditundanya sejumlah aktivitas termasuk kegiatan wisata oleh masyarakat, lanjutnya, berimbas pada rencana mereka untuk berkunjung atau menginap di destinasi wisata tujuan.
Baca juga: Puncak Widosari Kulon Progo, Keindahan di Tengah Perbukitan Menoreh
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan