Wisatawan Muslim dunia menjadi incaran karena jumlahnya yang terus meningkat dan besarnya nilai belanja di negara tujuan.
CrescentRating memprediksi jumlah wisatawan Muslim secara global mencapai 230 juta pada 2026, meningkat dari 140 juta pada 2018. Sedangkan menurut Global Islamic Economy Report, nilai perputaran uang dari wisata halal dunia diprediksi meningkat dari 177 miliar dolar pada 2017 menjadi 274 miliar dolar pada 2023.
Pada 2019, Taiwan berada di peringkat ketiga dalam daftar negara ramah Muslim yang bukan anggota OKI versi GMTI, meningkat dari peringkat kelima pada 2018.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan wisata halalnya, pemerintah Taiwan menyiapkan peralatan salat di hotel dan tempat menginap lainnya, menambah jumlah masjid, musala, dan restoran halal, dan menyediakan buku panduan bagi wisman Muslim untuk menemukan fasilitas-fasilitas tersebut.
Baca juga: Wapres Maruf Amin: Wisata Halal Tak Ganggu Warga Non-Muslim
Target pemerintah Indonesia untuk mendatangkan lima juta wisman Muslim pada 2020 gagal tercapai akibat pagebluk Covid-19.
Namun, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan bahwa tahun ini, pemerintah akan mengembangkan kembali wisata halal di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di daerah-daerah dengan mayoritas penduduk non-Muslim seperti Bali.
Walaupun saat ini industri pariwisatanya sedang mati suri, Bali masih menjadi primadona wisatawan dari dalam dan luar negeri. Karena Bali merupakan barometer pariwisata Indonesia, seberapa cepat kebangkitan pariwisata nasional ditentukan oleh Bali.
Apabila pariwisata Bali cepat pulih, destinasi-destinasi di luar Bali juga akan segera pulih. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan di balik keinginan Sandiaga untuk mengembangkan wisata halal di Bali karena itu merupakan bagian dari upayanya untuk memulihkan pariwisata nasional.
Akan tetapi, keinginan Sandiaga untuk membangun wisata halal mendapat protes dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, minimnya sosialisasi wisata halal. Faktor ini menyebabkan banyak orang berpikir wisata halal bertujuan mensyariatkan destinasi wisata.
Wisata halal tidak berkaitan dengan islamisasi karena tujuannya ialah memberikan wisman Muslim layanan tambahan agar mereka berlibur lebih lama di Indonesia.
Setelah pulang ke negara asal, mereka diharapkan ikut mempromosikan wisata halal Indonesia, dan kembali berkunjung ke Indonesia.
Jadi, wisata halal tidak menggantikan wisata budaya yang selama ini menjadi andalan Bali, Danau Toba, dan beberapa destinasi lainnya.
Kedua, kekhawatiran atas praktik intoleransi. Masyarakat mungkin merasa khawatir akan potensi munculnya ormas agama tertentu yang tiba-tiba melakukan aksi pemberangusan dan penyegelan di destinasi-destinasi wisata apabila wisata halal diterapkan.
Kekhawatiran ini muncul dari kekecewaan atas sikap aparat negara yang terbukti sering melakukan pembiaran atas praktik-praktik intoleransi yang terjadi di Tanah Air.