KOMPAS.com – Kabupaten Garut di Jawa Barat memiliki destinasi wisata baru, yakni Desa Wisata Sindangkasih.
Di sana, wisatawan disuguhi pemandangan terasering yang asri, aliran sungai yang teduh, nuansa alam yang apik, serta udara yang sejuk dan bebas polusi.
Beragam kegiatan wisata pun tersedia di sana dan dapat dinikmati dengan harga terjangkau. Beberapa di antaranya adalah river tubing, menginap, menangkap ikan di kolam, dan menjelajahi desa.
Baca juga: Disparbud Garut: Cuti Bersama 2021 Dipangkas Pengaruhi Pendapatan Warga
Namun di balik kegiatan wisata yang kini meramaikan tempat tersebut, Desa Wisata Sindangkasih dahulu hanyalah lahan kosong penuh alang-alang.
Menurut informasi dari Ketua Homestay Desa Wisata Sindangkasih Dedi Sopandi kepada Kompas.com, Rabu (17/3/2021), lahan kosong tersebut ditinggali sebuah keluarga pada sekitar 1840-an.
Baca juga: Warga Desa di Garut Mulai Sadar Wisata, Banyak Desa Wisata Bermunculan
Saat itu, lahan bernama Pasir Eurih merupakan rumah dari seorang bapak bernama Eyang Ardasan, ibu bernama Ema Iyun, dan delapan anak mereka yang gagah dan tangguh, juga taat dalam beribadah.
Adapun, keluarga tersebut adalah penduduk pertama tempat yang saat ini dikenal dengan Desa Wisata Sindangkasih.
Kedatangan tentara Belanda
Pada 1860-an, seorang penjajah asal Belanda tiba di sana dan berniat untuk membeli sebidang tanah milik Eyang Ardasan, tepatnya tanah di selatan Pasir Eurih, yakni Cimindi.
Penjajah tersebut membeli sebidang tanah lantaran dia tertarik dengan suasana yang ditawarkan Pasir Eurih, yakni sejuk dan nyaman.
Selain itu, keluarga Eyang Ardasan pun dikenal ramah, sehingga membuat dia betah dan tertarik untuk tinggal secara berdampingan dengan keluarga sang Juragan Tanah.
Baca juga: Leuwi Jurig, Pemandian Alami nan Misterius di Garut
Tidak lama kemudian, berdirilah perkampungan Belanda di Cimindi yang lambat laun memiliki gedung-gedung yang pada saat itu terbilang cukup mewah.
Selain mendirikan gedung-gedung, para tentara Belanda juga membuat sebuah penampungan air yang kini disebut “bunker air” guna memenuhi kehidupan sehari-hari.
Kedatangan Jepang ke Indonesia
Setelah bertahun-tahun lamanya dan Eyang Ardasan tutup usia pada 1920, keturunannya masih menetap di sana berdampingan dengan para tentara Belanda.