KOMPAS.com – Youth of May merupakan sebuah drama Korea (drakor) baru yang dibintangi oleh Lee Do-Hyun sebagai Hee-Tae dan Go Min-Si sebagai Myung-Hee.
Dalam drakor tersebut, mengutip sinopsisnya dalam Asian Wiki, diceritakan bahwa keduanya jatuh cinta pada Mei 1980. Tepatnya pada periode Gwangju Uprising.
Hee-Tae merupakan seorang mahasiswa kedokteran dengan semangat pantang menyerah. Sementara Myung-Hee adalah seorang perawat yang sudah bekerja selama tiga tahun, dan selalu berdiri melawan ketidakadilan.
Baca juga: Unik, Ada Pulau Berwarna Ungu di Korea Selatan
Melansir Forbes, Selasa (4/5/2021) diceritakan bahwa Hee-Tae kembali ke Gwangju yang pada saat itu merupakan lokasi di mana Perjuangan Demokratisasi Wangju terjadi.
Adapun, gerakan tersebut dimulai dengan protes mahasiswa dan berakhir dengan kematian dari ratusan pengunjuk rasa dan pengamat.
Nantinya, gerakan ini menghasilkan sebuah monumen bernama May 18th National Cemetery di Gwangju yang merupakan simbol dari kebebasan dan demokrasi.
Gwangju Uprising, mengutip Britannica, merupakan sebuah protes massal yang ditujukan pada pemerintah militer Korea Selatan yang terjadi di selatan Gwangju antara 18-27 Mei 1980.
Meski ditekan secara brutal dan awalnya tidak berhasil mewujudkan reformasi demokrasi di Negeri Ginseng, namun Gwangju Uprising dianggap sebagai momen penting dalam perjuangan Korea Selatan untuk demokrasi.
Baca juga: Hotel-hotel di Korea Tiadakan Perayaan Natal dan Tahun Baru, Kenapa?
Akar terjadinya pemberontakan dapat ditelusuri ke otoritarianisme presiden pertama Republik Korean, Syngman Rhee yang anti-komunis.
Menjabat selama 18 tahun, dia semakin represif khususnya terhadap oposisi politiknya, dan warga negara pada umumnya.
Kondisi tersebut memicu demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh mahasiswa pada 1960, dan penggulingan Rhee pada April pada tahun yang sama.
Negara tersebut akhirnya diperintah untuk waktu yang singkat oleh sistem parlementer.
Namun, kudeta militer yang dipimpin Jenderal Park Chung-Hee pada Mei 1961 menggusur pemerintah. Dia pun menjadi presiden dan tetap menjabat selama 18 tahun berikutnya.
Sebagai seorang presiden, Park menekan oposisi politik dan kebebasan pribadi warga Korea Selatan. Dia juga mengontrol media dan kampus.
Baca juga: 5 Lokasi Syuting Drakor Start-Up di Korea Selatan, Ada Sungai Hangang
Pada 1972, dia memperkenalkan Konstitusi Yushin yang secara dramatis meningkatkan kekuasaan presiden dan menciptakan kediktatoran virtual.
Kendati demikian, Park dibunuh pada 26 Oktober 1979. Jabatan presiden pun beberapa kali diambil alih oleh orang-orang kemiliteran lain yang akhirnya menciptakan aturan militer yang diprotes oleh aktivis buruh, mahasiswa, dan pemimpin oposisi.
Mereka melakukan protes dan meminta diadakannya pemilihan secara demokrasi. Pada saat itu, Gwangju merupakan kota yang menjadi pusat bagi pergerakan pro-demokrasi.
Pada 18 Mei 1980, sekitar 600 mahasiswa dan demonstran sipil berkumpul di Chonnam National University untuk melakukan protes terhadap ditekannya kebebasan akademik. Namun, mereka dipukuli oleh pasukan pemerintah.
Demonstrasi terus berlangsung sejak saat itu. Para demonstran menerobos kantor polisi untuk mengambil senjata.
Mereka mempersenjatai diri dengan tongkat pukul, pisau, pipa, palu, bom molotov, dan apa pun yang didapat. Mereka menghadapi 18.000 polisi anti huru hara, dan 3.000 pasukan terjun payung.
Baca juga: Itinerary Seharian di Gangwon Korea, Bisa Sarapan di Tepi Tebing
Pada 21 Mei, tepatnya pada sore hari, pemerintah mundur. Warga Gwangju menyatakan kota tersebut terbebas dari kekuasaan militer.
Kendati demikian, hal tersebut hanya berlangsung selama enam hari sebelum pasukan militer melepaskan kekuatannya. Mereka hanya butuh dua jam saja untuk menghancurkan pemberontakan sepenuhnya.
Menurut angka resmi pemerintah, hampir 200 orang tewas dalam pemberontakan. Sebagian besar dari mereka adalah warga sipil. Namun, warga dan mahasiswa Gwangju menegaskan, jumlahnya hampir mencapai 2.000.
Berdasarkan informasi dalam Visit Korea, monumen May 18th National Cemetery masuk dalam kategori situs bersejarah. Lokasinya berada di 200, Minju-ro, Buk-gu, Gwangju.
Monumen ini merupakan simbol dan kebebasan dan demokrasi. Tempat ini memiliki area pemakaman yang terdiri dari 764 kuburan korban Gwangju Uprising, tujuh konstruksi, dan banyak monumen.
Baca juga: Keliling 2 Desa Wisata di Korea Pakai Hanbok, Bisa Nginap di Hanok
Melansir Lonely Planet, museum ini menampilkan foto-foto, bendera dengan bercak darah, dan film yang menceritakan tentang pergerakan tersebut.
Pada sisi kiri monumen adalah sebuah aula yang menampilkan foto para warga sipil—mulai dari mahasiswa hingga lansia—yang menjadi korban pada saat itu.
Dari taman monumen tersebut, hanya berjalan selama lima menit, wisatawan dapat mengunjungi area yang dulunya merupakan area pemakaman tempat para korban dikubur secara buru-buru tanpa upacara yang layak.
Namun, kini para korban tersebut sudah dikubur kembali di pemakaman baru yang lebih layak.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.