KOMPAS.com – Kawasan karst Rammang-Rammang terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Kawasan tersebut menawarkan panorama gugusan pegunungan kapur atau karst terluas ketiga di dunia setelah China Selatan dan Vietnam, menurut Kompas.com.
Selain pegunungan karst, terdapat juga sungai dan hamparan sawah di kawasan yang merupakan bagian dari Geopark Maros-Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) itu.
Berikut empat fakta seputar kawasan karst Rammang-Rammang Maros yang dikunjungi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, serta influencers Atta Halilintar dan Thoriq Halilintar, Kamis (17/6/2021):
Melansir dari Kompas.com, Rammang-Rammang mulai dikembangkan pada tahun 2014 oleh masyarakat Desa Salenrang.
Tempat wisata yang berjarak sekitar 40 kilometer dari utara Kota Makassar itu populer berkat media sosial.
Baca juga: Terpukau Lihat Terowongan Batu, Sandiaga Uno Upayakan Rammang-Rammang Dapat Status UN Double Geopark
Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke sana, disarankan untuk naik perahu menuju Kampung Berua.
Harga sewa perahu bervariasi tergantung kapasitasnya. Untuk perahu berkapasitas satu hingga empat orang, misalnya, disewakan dengan harga Rp 200.000 pulang-pergi.
Sama seperti destinasi wisata lain, kawasan karst Rammang-Rammang juga terdampak pandemi Covid-19.
Sebab, sejumlah destinasi wisata di Sulawesi Selatan sempat ditutup guna mencegah penularan Covid-19.
Baca juga: Agustus Ini ke Sulsel, Ada Festival Rammang-Rammang
Berdasarkan keterangan dari Antara, Rabu (4/11/2020), sebelumnya kawasan karst Rammang-Rammang ditutup sementara mulai pertengahan Februari-Mei 2020.
Pengunjung pun berkurang drastis, bahkan pengusaha jasa perahu di sana pernah tidak mendapat muatan pada waktu itu.
Pada kunjungannya hari ini, Menparekraf Sandiaga Uno meresmikan Desa Wisata Rammang-Rammang.
Diharapkan, desa ini semakin memperkuat daya tarik wisata, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Baca juga: Ajak Atta Halilintar, Sandiaga Resmikan Desa Wisata Rammang-Rammang
Sandiaga mengatakan, Desa Wisata Rammang-Rammang mampu memberikan multiplier effect yang besar.
“Hadirnya desa wisata ini diharapkan semakin meningkatkan peluang bagi masyarakat, memberikan multiplier effect yang mendalam bagi masyarakat. Ini yang kita dorong, serta saya juga menginstruksikan kepada jajaran Kemenparekraf untuk memberikan pendampingan baik dalam peningkatan sumber daya manusia, pengelolaan homestay, dan lainnya,” ujarnya, menurut rilis yang diterima Kompas.com, Kamis.
Di sela-sela kunjungannya, Sandiaga menjelaskan bahwa ia akan meningkatkan fasilitas di kawasan tersebut, mulai dari listrik hingga pengelolaan sampah.
Sehingga, kawasan tersebut layak menjadi destinasi UNESCO Global Geopark.
Baca juga: 7 Tempat Wisata Sejuk di Makassar dan Maros, Yuk Ngadem!
Sebelumnya, Antara melaporkan bahwa Geopark Maros-Pangkep akan menjalani proses penilaian dari UNESCO bulan Juli 2021.
“Karena Geopark Maros-Pangkep mewakili Indonesia, makanya tahun 2021 ini kita akan menjalani assessment,” kata General Manager Badan Pengelola Geopark Maros-Pangkep Dedi Irfan kepada Antara.
Geopark Maros-Pangkep telah mendapat status geopark nasional tahun 2017.
Kawasan tersebut memiliki ratusan gua yang pernah ditinggali manusia prasejarah. Jejak mereka tergambar melalui lukisan berusia 40.000 tahun di dinding gua.
Terdapat berbagai destinasi wisata berbasis alam yang berkelanjutan di Geopark Maros-Pangkep, mulai dari geosite, biological site, hingga cultural site.
Baca juga: Wisata Prasejarah di Leang Leang Maros
Adapun yang termasuk geosite adalah Komplek Rijang Bantimala, Kompleks Metamorfik Pateteyang-Cempaga, dan Batuan Kerak Samura Parenreng.
Sementara, biological site meliputi Hutan Keilmuan Bengo-Makaroewa, Karaenta Primary Forest, Taman Kehati, Taman Botanik Tonasa, dan Taman Argo Botanik Puncak.
Destinasi yang termasuk cultural site adalah Komplek Prehistorik Bellae, Taman Prehistorik Sumpang Bita, dan Situs Berburu.
Lukisan manusia dan hewan di Geopark Maros-Pangkep terancam rusak akibat perubahan iklim.
Curah hujan musiman dan meningkatnya kekeringan mengancam konservasi lukisan gua di kawasan tersebut. Hal itu berdasarkan sebuah riset yang dipimpin arkeolog Jillian Huntley.
Baca juga: Pentingnya Masukkan Faktor Perubahan Iklim untuk Capai Pariwisata Berkelanjutan
“Di hampir semua situs karya seni zaman dahulu (early art), stensil buatan tangan dan motif figuratif sangat dipengaruhi oleh eksfoliasi dinding gua batu kapur dan permukaan langit-langit yang merupakan kanvas dari sang ‘seniman’,” kata Jillian kepada Bloomberg.
Penelitian mereka menunjukkan bahwa terjadi peningkatan eksfoliasi di sana.
Adapun yang dimaksud eksfoliasi adalah ketika kristal-kristal garam di bebatuan melebar dan berkontraksi bersamaan dengan naik turunnya suhu lingkungan, sehingga menyebabkan regangan pada lukisan. Proses tersebut dapat menghasilkan retakan atau serpihan-serpihan. Akibatnya, lukisan dapat terlepas dari permukaannya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.