Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diskriminasi Vaksin Covid-19 di Uni Eropa, Tidak Semua yang Sudah Vaksin Bisa Melancong ke Sana

Kompas.com - 15/07/2021, 15:36 WIB
Nabilla Ramadhian,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

Sumber AP News

 

KOMPAS.com – Seorang dokter bernama Ifeanyi Nsofor dan istrinya telah divaksinasi penuh lantaran sudah mendapat dua dosis vaksin AstraZeneca di Nigeria.

Keduanya mengira bahwa mereka dapat melancong ke destinasi wisata impian mereka di Eropa pada musim panas ini, mengutip AP News, Selasa (13/7/2021).

Baca juga: Austria Buka untuk Turis Asia Tenggara, Apa Indonesia Termasuk?

Namun, mereka bersama jutaan orang lain yang divaksinasi lewat upaya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), ternyata dilarang memasuki banyak negara Eropa dan negara lainnya.

Sebab, negara-negara tersebut tidak mengakui vaksin versi buatan India untuk perjalanan. Adapun, AstraZeneca merupakan vaksin yang diproduksi di Eropa.

Vaksin ini telah disahkan oleh badan pengawas obat di sana. Kendati demikian, vaksin AstraZeneca yang diproduksi di India masih belum diberi lampu hijau.

Baca juga: Unik, Kastel Drakula di Rumania Beri Vaksin Covid-19 untuk Wisatawan

Regulator Uni Eropa (UE) mengatakan bahwa AstraZeneca belum menyelesaikan dokumen yang diperlukan di pabrik India, termasuk rincian tentang praktik produksi dan standar kontrol kualitas.

Namun, beberapa ahli menggambarkan tindakan UE sebagai tindakan yang diskriminatif dan tidak ilmiah.

Ilustrasi Belgia - Pemandangan di Kota Gent.SHUTTERSTOCK Ilustrasi Belgia - Pemandangan di Kota Gent.

Itu karena World Health Organization (WHO) telah melakukan inspeksi terhadap pabrik tersebut dan menyetujuinya.

Para pejabat kesehatan mengatakan, situasi ini tidak hanya akan menyulitkan perjalanan dan mengganggu perekonomian yang rapuh.

Baca juga: Italia Tambah 6 Destinasi Baru dalam Daftar Kota Terindah

Hal itu juga merusak kepercayaan vaksin dengan memberi label bahwa ada beberapa vaksin yang ada di bawah standar.

Vaksin Covid-19 dan kebebasan untuk bepergian

Saat ini, cakupan vaksinasi Covid-19 tengah meningkat di seluruh Eropa dan negara-negara kaya lainnya.

Pihak berwenang yang tidak sabar ingin menyelamatkan waktu pariwisata pada musim panas makin melonggarkan pembatasan perbatasan terkait Covid-19.

Awal bulan ini, UE memperkenalkan sertifikat digital ovid-19 yang memungkinkan penduduk UE untuk bergerak secara bebas di blok 27 negara.

Baca juga: Ketinggalan Kereta Tiga Kali di Brussels Belgia...

Namun, para penduduk harus sudah divaksinasi menggunakan satu dari empat vaksin yang diizinkan European Medicine Agency, memiliki hasil tes negatif yang baru, atau memiliki bukti bahwa mereka baru saja pulih dari Covid-19.

Ilustrasi Italia - Sebuah desa bernama Colli al Volturno di Molise.SHUTTERSTOCK Ilustrasi Italia - Sebuah desa bernama Colli al Volturno di Molise.

Sementara itu, AS dan Inggris sebagian besar masih tertutup bagi pengunjung luar. Namun, sertifikat UE dilihat sebagai model potensial untuk perjalanan di era Covid-19, dan cara untuk meningkatkan ekonomi.

Vaksin yang diterima di Uni Eropa

UE secara resmi mendukung beberapa vaksin mencakup vaksin yang dibuat oleh Pfizer, Moderna, dan Johnson & Johnson.

Namun, mereka tidak mencakup vaksin AstraZeneca yang diproduksi di India atau vaksin lainnya yang digunakan di negara berkembang, termasuk vaksin yang diproduksi di China dan Rusia.

Masing-masing negara UE bebas untuk menerapkan aturan masing-masing untuk pelancong dari dalam dan luar blok mereka. Aturan mereka pun sangat bervariasi, sehingga membuat kebingungan lebih lanjut bagi wisatawan.

Baca juga: Museum Mabuk Dibuka di Kroasia, Koleksinya Unik!

Beberapa negara UE termasuk Belgia, Jerman, dan Swiss mengizinkan orang-orang untuk masuk ke negara mereka meski tidak divaksin dengan vaksin yang didukung UE. Sementara negara lain termasuk Perancis dan Italia tidak mengizinkannya.

Bagi Nsofor, pengetahuan bahwa dia dapat dilarang memasuki UE merupakan penemuan yang tidak menyenangkan.

Ilustrasi Belanda - Pemandangan di Amsterdam, Belanda.Photo by Tim Trad on Unsplash Ilustrasi Belanda - Pemandangan di Amsterdam, Belanda.

Setelah setahun bekerja selama pandemi di Abuja, dia dan istrinya menantikan liburan ke Eropa bersama dua putrinya.

Diskriminasi vaksin bagi mereka yang sudah vaksin

Nsofor mencatat, vaksin buatan India yang dia terima telah disahkan oleh WHO untuk penggunaan darurat dan telah dipasok melalui COVAX.

Adapun, COVAX merupakan program yang didukung PBB untuk memberikan vaksin ke sudut-sudut miskin di dunia.

Baca juga: Raja dan Ratu Swedia Naik Kereta Wisata Kepresidenan ke Bandung

Terkait persetujuan dari WHO, hal tersebut mencakup kunjungan ke pabrik Serum Institute of India untuk memastikan bahwa mereka memiliki praktik manufaktur yang baik, dan standar kontrol kualitas yang terpenuhi.

“Kami berterima kasih kepada UE karena mendanai COVAX. Namun, kini mereka pada dasarnya mendiskriminasikan vaksin yang secara aktif mereka danai dan promosikan,” jelas Nsofor.

Menurutnya, hal tersebut hanya akan memberi ruang bagi semua jenis teori konspirasi bahwa vaksin yang didapat di Afrika tidak sebaik yang UE miliki untuk diri mereka sendiri di Barat.

Diskriminasi yang dapat memicu ketidakpercayaan

Ivo Vlaev merupakan seorang profesor di University of Warwick, Inggris yang memberi nasihat kepada pemerintah tentang ilmu perilaku selama Covid-19.

Dia setuju bahwa penolakan negara-negara Barat untuk mengakui vaksin yang digunakan di negara-negara miskin, dapat memicu ketidakpercayaan.

Ilustrasi Romania - Kastil Peles, sebuah kastil bergaya Neo-Renaisans di Pegunungan Carpathian di Prahova (dok. Pixabay/gavia26210).dok. Pixabay/gavia26210 Ilustrasi Romania - Kastil Peles, sebuah kastil bergaya Neo-Renaisans di Pegunungan Carpathian di Prahova (dok. Pixabay/gavia26210).

“Orang yang sudah curiga terhadap vaksin akan menjadi lebih curiga. Mereka juga bisa kehilangan kepercayaan terhadap pesan kesehatan masyarakat dari pemerintah dan semakin tidak bersedia untuk mematuhi aturan Covid-19,” ungkap Vlaev.

Baca juga: Liburan ala Legend of The Blue Sea di Spanyol, Jalan-jalan Kelar Corona

Director of Health International Rescue Committee, Mesfin Teklu Tessema mengatakan bahwa tindakan negara-negara yang menolak mengakui vaksin yang disetujui WHO bertentangan dengan bukti ilmiah.

“Vaksin yang telah memenuhi standar WHO harus diterima. Jika tidak, sepertinya ada unsur rasisme di sini,” papar dia.

WHO mendesak negara-negara untuk mengakui semua vaksin yang telah mereka sahkan, termasuk dua vaksin buatan China.

Ilustrasi PolandiaPixabay/pedro_wroclaw Ilustrasi Polandia

Badan Kesehatan PBB dalam sebuah pernyataan pada Juli 2021 mengatakan, negara yang menolak untuk melakukannya merusak kepercayaan terhadap vaksin penyelamat jiwa yang telah terbukti aman dan efektif.

“(Ini) memengaruhi penggunaan vaksin dan berpotensi membahayakan miliaran orang,” lanjut mereka dalam pernyataan tersebut.

Baca juga: Kafe di Jerman Beri Pelanggan Topi Lucu Seperti Baling-baling untuk Jaga Jarak

Diskriminasi yang juga menyulitkan warga Eropa

Pada Juni 2021, CEO Serum Institute of India Adar Poonawalla mengatakan dalam akun Twitter-nya, dia khawatir tentang orang India yang menghadapi masalah saat berkunjung ke UE. Dia tengah mengangkat masalah di tingkat tertinggi ini dengan regulator dan negara.

Pekan lalu, juru bicara Badan Eksekutif UE Stefan De Keersmaeker mengatakan bahwa para regulator berkewajiban memeriksa proses produksi di pabrik India.

“Kami tidak mencoba untuk menciptakan keraguan akan vaksin ini,” jelas De Keersmaeker.

Pihak AstraZeneca mengatakan, mereka sudah menyerahkan dokumen terkait pabrik di India kepada badan pengawas obat UE baru-baru ini.

Baca juga: Asyik, Kini Turis Bisa ke Acropolis di Yunani Lebih Mudah

Namun, mereka tidak mengatakan mengapa tidak melakukannya lebih awal sebelum badan pengawas obat tersebut membuat keputusan pada Januari.

Penolakan dari beberapa otoritas negara untuk mengakui vaksin yang diproduksi di luar UE juga membuat frustrasi beberapa warga Eropa yang divaksin di tempat lain, termasuk AS.

Mantan Duta Besar Perancis untuk Israel, AS, dan PBB bernama Gerard Araud mengatakan di Twitter pekan ini bahwa Covid-19 Pass milik Perancis merupakan bencana bagi orang yang divaksinasi di luar negeri.

Ada peringatan dari pakar kesehatan masyarakat

Para pakar kesehatan masyarakat memperingatkan, negara-negara yang menolak untuk mengakui vaksin yang didukung WHO mempersulit upaya global untuk memulai kembali perjalanan dengan aman.

Raghib Ali dari University of Cambridge mengatakan, mengecualikan beberapa orang dari negara tertentu karena vaksin yang mereka terima sepenuhnya tidak konsisten.

Baca juga: Mirip Negeri Dongeng, Inilah Museum Hans Christian Andersen di Denmark

“Sebab, kita tahu bahwa vaksin-vaksin yang disetujui ini sangat protektif,” ucap dia.

Nsofor mengatakan, dia dan istrinya masih memutuskan ke mana mereka akan liburan musim panas. Namun, mereka lebih condong untuk berlibur ke Singapura atau Afrika Timur.

“Saya tidak menyadari ada begitu banyak lapisan terhadap ketidakadilan vaksin,” pungkas Nsofor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AP News
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com