"Berkaitan dengan Dewi Sri, dalam khazanah ikonografi Indonesia ditemukan arca Dewi Sri yang secara ikonografi berbeda penggambarannya dengan Dewi Sri di India," tulis Titi dalam risetnya.
Dalam konteks keyakinan, tradisi, dan mitologi di Indonesia, Dewi Sri setidaknya muncul di masyarakat Jawa—terutama Jawa Tengah—, Bali, Kalimantan, Sumatera Utara, dan Ende.
Dewi Sri dan legenda pertanian adalah versi yang paling banyak dan mudah ditemukan dalam tradisi Nusantara. Namanya saja yang berbeda-beda.
Di Jawa Barat, misalnya, Dewi Sri disebut juga sebagai Dewi Pohaci. Legenda yang berkaitan dengannya antara lain Wawacan Pohaci, Cariyos Sawargaloka, Wawacan Sanghyang Sri, Wawacan Puhaci Dandayang, Wawacan Dewi Sri, dan Wawacan Sulanjana.
Baca juga: Revolusi Nyi Pohaci
Adapun di Jawa Tengah, salah satu legenda terkait Dewi Sri adalaah Sri Sedana. Di Madura, Jawa Timur, sosok Dewi Sri dituturkan sebagai sosok Ratna Dumilah.
Lalu, di Bali, Dewi Sri disebut juga dengan nama Sri Sadhana, Rambut Sadhana, Dewi Danu, atau Dewa Ayu Manik Galih.
Di Sumatera Utara, sosok dan mitologi Dewi Sri muncul dalam cerita Daru Dayang. Adapun di Ende, kisah Dewi Sri hadir dalam kisah Bobi dan Nombi. Di Ende, Dewi Sri disebut juga sebagai Ine Pare atau Ine Mbu.
Kisah yang merujuk pada Dewi Sri ada juga di Pulau Kei, Maluku, lewat cerita tentang pemuda bernama Letwir. Pengaruh Jawa dan Bali diyakini ada di balik keberadaan kisah ini, karena padi dan beras bukan makanan pokok orang Kei.
Lalu siapakah Dewi Sri?
Meski punya banyak nama dan ada beragam kisah tentangnya, benang merah di antara semua itu adalah sosok Dewi Sri sebagai perempuan dan simbol kehidupan.
Sindunata dalam tulisan Ketika Dewi Sri Sudah Pergi, mengaitkan sosok Dewi Sri sebagai perempuan laiknya Bumi yang memberi kehidupan dan kesuburan.
"Tapi justru karena ia seperti wanita maka Bumi ini adalah obyek penderitaan. Karena itu Bumi ini juga bisa bersedih dan menangis seperti seorang wanita," tulis Sindunata di artikel yang tayang di harian Kompas edisi 24 Juni 1993 tersebut.
Dalam banyak mitologi, lanjut Sindunata, perempuan sebagai simbol kesuburan tanah sering diganggu oleh pelbagai kekuatan jahat yang hendak memusnahkan hidupnya.
Adapun dalam etnologi, perempuan sering dianggap sebagai "unsur kultur" yang berhadapan secara dikotomis dengan lelaki sebagai "unsur nonkultur", manusia yang punya kecenderungan untuk menjadi barbar dan antikultur.
Bila demikian, Bumi sebagai perempuan itulah yang menjadi korbannya.
Dewi Sri, tulis Sindunata mengutip salah satu versi sosok Dewi Sri, adalah dewi kesuburan yang lahir dari kesedihan. Dia lahir dari salah satu telur yang asalnya adalah air mata Dewa Anta, dewa berwujud naga yang tinggal di dunia bawah tanah.
Dewa Anta merasa kodratnya hina, tak seperti para dewata lainnya. Itu yang membuatnya menitikkan air mata. Air mata itu yang kemudian menjadi sejumlah telur, yang kemudian salah satunya pecah dan darinya lahir perempuan jelita, Dewi Sri Pohaci.