ENDE, KOMPAS.com - Fenomena penyusutan permukaan air pada salah satu danau vulkanik di Taman Nasional (TN) Kelimutu di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Danau (Tiwu) Ata Mbupu, telah menjadi perhatian publik.
Fenomena tersebut mengancam daya tarik wisata, sekaligus berdampak pada animo pengunjung untuk berwisata ke TN Kelimutu, sehingga menimbulkan keresahan masyarakat terutama para pelaku wisata.
Kepala Balai TN Kelimutu, Hendrikus Rani Siga, merespons fenomena tersebut.
Pihaknya telah mengajukan permohonan kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM agar melakukan pengkajian secara ilmiah.
Merespons permintaan Balai TN Kelimutu, Badan Geologi Kementerian ESDM telah mengirim surat Nomor : B-221/GL.06/BGV/2021, tanggal 28 Juni 2021 yang menyatakan bahwa fenomena penurunan muka air danau kawah merupakan hal yang umum terjadi di gunung api Indonesia maupun dunia.
Baca juga:
Penurunan muka air terjadi sejak enam tahun lalu
Hasil peninjauan awal di lapangan, yang dilakukan oleh petugas Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu, menunjukkan penurunan muka air terjadi pada satu di antara tiga danau kawah yang ada di Kelimutu, yaitu Danau Ata Mbupu atau Kawah III.
Penurunan tinggi muka air danau kawah ini telah berlangsung sejak enam tahun yang lalu.
Sementara itu, penurunan tinggi muka air Danau Ata Mbupu tidak memiliki korelasi langsung dengan aktivitas vulkanis Gunung Kelimutu.
PVMBG dapat membantu melakukan pengkajian lapangan dengan batasan untuk mengidentifikasi apakah fenomena penurunan tinggi muka air Danau Ata Mbupu berhubungan dengan aktivitas vulkanis Gunung Kelimutu.
Namun demikian, PVMBG tidak dapat mengidentifikasi penyebab pasti penurunan muka air danau yang tidak berkaitan langsung dengan aktivitas gunung api.
Analisis curah hujan
Selain surat dari Badan Geologi Kementerian ESDM tersebut, Balai TN Kelimutu juga melakukan analisis terhadap data curah hujan di Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu dalam kurun 2016 – 2021.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tahun 2019 terjadi penurunan curah hujan yang cukup signifikan yang memungkinkan terjadinya penguapan atau evaporasi yang cukup tinggi.
"Pada dasarnya penurunan maupun kenaikan muka air danau tidak dapat dilakukan hanya dengan kajian vulkanologi saja, namun juga membutuhkan kajian geologi maupun penyelidikan bawah permukaan air danau dengan metode geofisika dan geokimia dengan cakupan area yang cukup luas," jelas Hendrikus dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (19/8/2021) pagi.
Baca juga:
Tak lepas dari kepercayaan masyarakat setempat
Hendrikus mengungkapkan, masyarakat Suku Lio masih menjunjung tinggi adat dan budayanya.
Kepercayaan yang masih kuat sampai saat ini adalah bahwa perubahan di tiga Danau Kelimutu diyakini sebagai tanda akan adanya bencana atau malapetaka.
Seperti yang sempat dialami masyarakat Suku Lio saat gempa bumi dan tsunami pada tahun 1992.
Diyakini bahwa sebelum terjadi bencana tersebut, salah satu danau yang ada mengalami perubahan warna terlebih dahulu.
Oleh karena itu, kata dia, Balai TN Kelimutu secara rutin memfasilitasi acara pemberian makan arwah (Pati Ka) di Danau Kelimutu, salah satunya seperti yang dilakukan pada 31 Juli 2021.
Ia menjelaskan, Pati Ka dilakukan oleh beberapa Mosalaki (pemangku adat) yang tergabung dalam Forum Komunitas Adat Kelimutu.
Acara tersebut bertujuan untuk memanjatkan doa dan permohonan kepada arwah dan leluhur agar seluruh anggota masyarakat dan komunitas adat dapat terhindar dari segala marabahaya atau tolak bala.
"Di luar kepercayaan akan ritual tolak bala yang telah dilakukan tersebut, hasil pengamatan secara visual oleh petugas TN Kelimutu menunjukkan bahwa saat ini kondisi permukaan air Danau Ata Mbupu telah mengalami peningkatan," ungkap Hendrikus.
"Indikasinya adalah tidak terlihatnya lagi batu-batuan di dasar danau yang sebelumnya tampak pada saat terjadi penurunan permukaan air danau," tambahnya.
Pihak Balai TN Kelimutu berharap, permukaan air Danau Ata Mbupu akan terus meningkat sampai dengan ketinggian yang sama seperti kondisi pada tahun 2017 lalu.