Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Suku Osing di Banyuwangi, Ujung Timur Pulau Jawa

Kompas.com - 21/08/2021, 09:08 WIB
Kistin Septiyani,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Suku Jawa bukanlah satu-satunya suku yang mendiami Pulau Jawa. Sunda, Baduy, dan Osing adalah beberapa suku lain yang juga berasal dari pulau ini.

Osing merupakan suku yang berasal dari ujung Pulau Jawa, tepatnya Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Suku ini sampai kini masih bisa di beberapa daerah Banyuwangi salah satunya adalah Desa Kemiren.

Dilansir dari jurnal berjudul Kajian Bahasa Osing dalam Modernitas karya Andhika Wahyudiono, Osing berasal dari kata using yang dalam bahasa Bali berarti tidak.

Keberadaan suku Osing di Banyuwangi tak bisa terlepas dari Kerajaan Blambangan dan peristiwa puputan bayu.

Dikutip dari jurnal Perancangan Film Dokumenter: Tribute to East Java Heritage karya Evan Permana, pada akhir kekuasaan Majapahit terjadilah perang saudara. Perang tersebut membuat banyak wilayah Majapahit melemah.

Baca juga: Itinerary 1 Hari di Banyuwangi, Biaya Kurang dari Rp 100.000

Konflik internal yang terjadi di dalam Majapahit membuat kerajaan tersebut akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Malaka.

Kerajaan Blambangan yang dulunya merupakan bagian dari Majapahit pun akhirnya berdiri sebagai kerajaan sendiri. Selama kurun waktu dua abad, sekitar tahun 1546 sampai tahun 1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan dari kerajaan di sekitarnya.

Penduduk Blambangan akhirnya melakukan migrasi ke sejumlah daerah karena serangan-serangan dari kerajaan sekitar.

Mereka akhirnya tersebar ke sejumlah tempat. Beberapa mengungsi ke lereng Gunung Bromo yang kini menjadi suku Tengger, beberapa ke Bali, dan beberapa bertahan di Blambangan yang kini dikenal sebagai Banyuwangi.

Masyarakat yang memutuskan untuk menetap di Blambangan inilah yang menjadi cikal bakal dari suku Osing.

Puputan Bayu

Dikutip dari Sekilas Puputan Bayu yang disusun Pemerintah Kabupaten Banywangi, Puputan Bayu adalah peperangan yang terjadi antara pasukan VOC dan pejuang-pejuang Blambangan pada tahun 1771 sampai 1772.

Peperangan ini pecah di daerah Bayu, yang kini menjadi Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.

Desa Wisata Adat Osing Kemiren, Banyuwangi DOK. Kemiren.comDOK. Kemiren.com Desa Wisata Adat Osing Kemiren, Banyuwangi DOK. Kemiren.com

Kubu pejuang Blambangan dipimpin oleh Rempeg atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Jagapati. Ia merupakan buyut dari Raja Blambangan, Prabu Susuhan Tawangalun.

Puputan Bayu dipicu tindakan Belanda yang saat itu mulai menguasai daerah Blambangan. Kebijakan seperti tanam dan kerja paksa yang diterapkan untuk kaum pribumi membuat Raden Jagapati geram.

Tak hanya itu, Belanda dan pasukannya memperlakukan wanita pribumi dengan semena-mena. Mereka tak memandang apakah si wanita gadis, janda, atau istri orang.

Baca juga: 20 Wisata Banyuwangi dari Alam sampai Budaya

Hal ini kemarahan Raden Jagapati memuncak. Ia kemudian menyusun rencana di daerah Bayu bersama para pejuang untuk menyingkirkan Belanda.

Banyak penduduk daerah lain yang akhirnya bergabung dengan Jagapati di Bayu. Wilayah ini pun menjadi kekuatan baru yang dianggap berbahaya bagi kedudukan VOC di Blambangan.

Puncak Puputan Bayu terjadi pada 18 Desember 1771. Peperangan tersebut memakan banyak korban dari kedua pihak.

Ibu kota Blambangan kemudian dipindahkan ke Banyuwangi. Perang ini berakhir setelah VOC berhasil merebut benteng milik pejuang pada 11 Oktober 1772.

Penduduk Blambangan yang bertahan di kawasan Banyuwangi inilah yang akhirnya menjadi suku Osing.

Rumah adat suku Osing

Dikutip dari jurnal berjudul Sistem Struktur Rumah Adat Tradisional Suku Osing karya Prasetya dan kawan-kawan, rumah tradisional Osing memiliki sistem struktur yang sederhana.

Rumah tradisional suku Osing di Banyuwangi DOK. Shutterstock/Joe Candra PShutterstock/Joe Candra P Rumah tradisional suku Osing di Banyuwangi DOK. Shutterstock/Joe Candra P

Konstruksi utama dari rumah tersebut adalah empat pilar utama yang menopang bangunan. Empat pilar utama ini disebut soko. Rumah tradisional ini diturunkan oleh sebuah keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Baca juga: 5 Oleh-oleh khas Banyuwangi, dari Kopi Sampai Kain Batik

Bahasa suku Osing

Dilansir dari Kajian Bahasa Osing dala Modernitas karya Andhika Wahyudiono, istilah Using atau Osing untuk menyebut bahasa di Banyuwangi muncul pertama pertama kali dalam tulisan Lekkerkerker yang terbit pada 1923.

Pemuda Suku Osing mengajar tari di Desa Kemiren DOK. Galeri Desa KemirenDOK. Galeri Desa Kemiren Pemuda Suku Osing mengajar tari di Desa Kemiren DOK. Galeri Desa Kemiren

Bahasa Jawa dan Bahasa Osing sebenarnya merupakan pengembangan dari Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Using sebelumnya hanya dikenal sebagai dialek dari bahasa Jawa.

Namun, pada Agustus 1997, DPRD Banyuwangi melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mulai mengizinkan mata pelajaran Bahasa Osing menjadi salah satu muatan lokal di sekolah.

Baca juga: 4 Tempat Nikmati Pertunjukan Seni Tradional di Banyuwangi

Baju adat Osing

Dilansir dari Konstruksi Sosial pernikahan Adat Suku Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaaten Banyuwangi karya Ningwulansari, Zuryani dan Aditya, Baju Jebeng dan Baju Thulik merupakan pakaian adat yang digunakan dalam pernikahan suku Osing.

Pengantin perempuan suku Osing, Banyuwangi DOK. Shutterstock/Gunungsari PhotoShutterstock/Gunungsari Photo Pengantin perempuan suku Osing, Banyuwangi DOK. Shutterstock/Gunungsari Photo

Baju ini juga menjadi ikon dari Kota Banyuwangi. Busana tersebut menggunakan kain batik paras gempal, gajah uleng, dan moto pitik.

Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat suku Osing terkenal dengan busana berwarna hitam yang dipadukan dengan kain batik sebagai bawahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com