Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Suku Tengger di Kawasan Bromo, Peradaban sejak Zaman Majapahit

Kompas.com - Diperbarui 30/01/2022, 16:24 WIB
Kistin Septiyani,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tengger merupakan suku yang mendiami dataran tinggi di sekitar Pegunungan Tengger yang juga meliputi wilayah Gunung Bromo dan Semeru.

Suku ini disebut sebagai salah satu peradaban yang sudah ada sejak Kerajaan Majapahit.

Ada banyak teori dari ahli mengenai asal mula suku Tengger. Namun, masyarakat suku Tengger percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Majapahit.

"Wong (orang) Tengger secara harfiah diterjemahkan sebagai orang-orang dataran tinggi, tanpa bisa diketahui istilah Tengger itu terglong dalam bahasa apa," tulis G.P. Rouffear, dikutip dari Suku Tengger dan Kehidupan Bromo yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo.

Kemudian, dilansir dari Perubahan Ekologis Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger karya Yulianti, secara etimologi "tengger" berasal dari bahasa Jawa yang artinya tegak, diam tanpa bergerak.

"Sedangkan apabila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, tengger merupakan singkatan dari tengering budi luhur," papar Yulianti.

Baca juga: Kawasan Bromo Tengger Semeru Jadi Habitat Ideal bagi Elang Jawa

Sejarah suku Tengger

Anak Suku Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur DOK. Shutterstock/Eva AfifahShutterstock/Eva Afifah Anak Suku Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur DOK. Shutterstock/Eva Afifah

Sejak masa kerajaan Hindu di Pulau Jawa, pegunungan Tengger diakui sebagai tempat suci yang dihuni abdi spiritual dari Sang Hyang Widi Wasa. Abdi ini disebut juga sebagai hulun.

Yulianti, dalam bukunya, menyebutkan bahwa hal tersebut dibuktikan dengan Prasasti Walandhit yang berangka 851 Saka atau tahun 929 Masehi (M).

Tertulis bahwa sebuah desa bernama Walandhit di Pegunungan Tengger merupakan tempat suci yang dihuni oleh Hyang Hulun atau abdi Tuhan.

Prasasti itu ditemukan di daerah Penanjakan (Desa Wonokitri) Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Prasasti tersebut berangka tahun 1327 Saka atau 1405 M.

Pada awal abad ke-17, Kerajaan Mataram Islam mulai memperluas kekuasaannya hingga ke Jawa Timur. Namun, rakyat di daerah Tengger masih mempertahankan identitasnya dari pengaruh Mataram.

Sayangnya, pada 1764 masyarakat Tengger terpaksa takluk pada pemerintah Belanda. Pada 1785, Belanda mulai mendirikan tempat peristirahatan Tosari dan menanam sayuran Eropa, seperti kentang, wortel, dan kubis.

"Situasi politik pada abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan sekitarnya menarik para pendatang dari daerah lain yang mulai memadat," imbuh Yulianti.

Baca juga: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Siap Dibuka jika Ada Arahan dari Pusat

Legenda suku Tengger

Sebagaimana kebanyakan suku di Indonesia, suku Tengger juga memilki legenda. Legenda tentang asal mula Tengger ini bermula dari Rara Anteng dan Jaka Seger.

Dilansir dari Cerita Rakyat Nusantara: Pusaka Ampuh Jaka Tengger dan Kisah-kisah Lainnya karya Subiharso, Rara Anteng merupakan seorang putri dari Kerajaan Majapahit.

Sang putri berlindung di wilayah Penanjakan setelah Majapahit mengalami pergolakan.

Rara Anteng kemudian diangkat menjadi putri seorang Resi bernama Dadap Putih. Keduanya hidup bahagia di daerah pegunungan tersebut.

Masyarakat Suku Tengger dengan mengenakan masker berada di mobil bak terbuka menuju kawasan Gunung Bromo untuk melaksanakan perayaan Yadnya Kasada, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (6/7/2020). Perayaan Yadnya Kasada merupakan bentuk ungkapan syukur masyarakat Suku Tengger dengan melarung sesaji berupa hasil bumi dan ternak ke kawah Gunung Bromo.ANTARA FOTO/ZABUR KARURU Masyarakat Suku Tengger dengan mengenakan masker berada di mobil bak terbuka menuju kawasan Gunung Bromo untuk melaksanakan perayaan Yadnya Kasada, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (6/7/2020). Perayaan Yadnya Kasada merupakan bentuk ungkapan syukur masyarakat Suku Tengger dengan melarung sesaji berupa hasil bumi dan ternak ke kawah Gunung Bromo.

Di sisi lain, Jaka Seger yang berasal dari Kediri juga terpaksa mengasingkan diri karena situasi kerajaan yang kacau. Ia tinggal di Desa Keduwung, sembari mencari keberadaan pamannya yang tinggal di sekitar Gunung Bromo.

Singkatnya, sang putri bertemu dengan Jaka Seger. Keduanya jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.

Akan tetapi setelah menunggu selama sewindu, keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Rara Anteng dan Jaka Seger pun memutuskan untuk bertapa.

Baca juga: Wisatawan Masih Berusaha Masuk ke Bromo saat Tutup akibat PPKM

Setelah bertapa selama enam tahun, permohonan keduanya dikabulkan. Namun, permintaan tersebut harus dibayar dengan nyawa sang anak bungsu.

Rara Anteng dan Jaka Seger harus menumbalkan anak bungsunya ke dalam kawah Bromo sebagai syarat. Keduanya pun dikaruniai 25 orang anak.

Suatu hari, Gunung Bromo bergemuruh. Rara Anteng dan Jaka Seger tahu bahwa inilah saatnya menyerahkan putra bungsu yang bernama R Kusuma.

Sayangnya, mereka belum rela mengorbankan sang putra. Keduanya lalu menyembunyikan R Kusuma di daerah Ngadas.

Baca juga:

Akan tetapi, letusan Gunung Bromo yang dahsyat ternyata menjangkau tempat persembunyian R. Kusuma. Putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger kemudian tersedot masuk ke dalam Gunung Bromo.

Saat itulah terdengar pesan dari R Kusuma yang ingin saudaranya untuk tetap hidup rukun. Ia juga mengaku rela menjadi persembahan demi kesejahteraan dan kerukunan orangtua beserta para saudaranya.

R Kusuma juga berpesan untuk mengirimkan hasil bumi ke Gunung Bromo setiap tanggal 14 Kasada. Dari legenda inilah nama Tengger diperoleh.

Tengger berasal dari nama Rara Anteng dan Jaka Seger yang dipercaya menjadi cikal bakal masyarakat di wilayah tersebut.

Agama dan keyakinan suku Tengger

Suku Tengger dalam upacara adat Yadnya Kasada DOK. Shutterstock/priantopujiShutterstock/priantopuji Suku Tengger dalam upacara adat Yadnya Kasada DOK. Shutterstock/priantopuji

Dilansir dari Keajaiban Bromo Tengger Semeru karya Jati Batoro, masyarakat Tengger awalnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme.

Ajaran agama Hindu dan Buddha mulai berkembang di wilayah suku Tengger seiring perkembangan Majapahit. Kepercayaan tersebut menjadi agama yang akhirnya diwariskan nenek moyang hingga generasi suku Tengger masa kini.

"Agama kerajaan Majapahit termasuk agama Hindu-Buddha dengan cirah lokal. Hal ini dapat dimengerti masyarakat lokal dan masyarakat Jawa-Majapahit yang berpindah ke Tengger lalu melakukan asimilasi menjadi suku Tengger," tulis Batoro.

Perkembangan agama dan kepercayaan di suku Tengger sejalan dengan perkembangan agama di Indonesia. Akan tetapi, mayoritas suku ini menganut agama Buddha Mahayana.

Adanya percampuran kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih cukup kental di suku Tengger, membuat masyarakatnya menyakralkan Gunung Bromo dan Semeru.

Baca juga: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Perpanjang Waktu Penutupan

Berdasarkan kepercayaan suku Tengger, Gunung Bromo dan Gunung Semeru merupakan tempat suci dan keramat yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Suku Tengger pun memegang erat tradisi yang diturunkan oleh leluhur.

"Masyarakat suku Tengger, baik yang masih beragama Hindu maupun yang sudah beragama Islam sampai saat ini masih tetap memegang tradisi dan nilai-niai budaya yang luhur, sebagai warisan dari nenek moyang yang pernah jaya pada zaman Majapahit," tulis Yulianti.

Upacara adat suku Tengger

Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger DOK. Shutterstock/syamhari photographyShutterstock/syamhari photography Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger DOK. Shutterstock/syamhari photography

Menurut Yulianti, ada banyak upacara adat yang sampai saat ini masih dilakukan secara rutin oleh suku Tengger. Upacara adat tersebut terbagi dalam tiga jenis.

Pertama adalah upacara adat terkait kehidupan masyarakat. Upacara adat ini dilakukan secara massal dan para pelakunya terikat dalam perasaan yang sama.

Upacara adat yang tergolong dalam jenis ini adalah Pujan Karo, Pujan Kapat, Pujan Kapitu atau Megeng, Pujan Kawolu, Pujan Kasanga atau Pujan Mubeng, Hari Raya Yadnya Kasada atau Pujan Kasada, dan Unan-unan atau Upacara Pancawarsa.

Jenis upacara adat kedua berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang. Ada tiga siklus kehidupan yang dianggap penting dalam kepercayaan Tengger, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian.

Ketiga siklus kehidupan tersebut dianggap sebagai bentuk peringatan yang harus diselamati untuk menghindari diri dari pengaruh buruk.

"Menurut masyarakat Tengger, mereka mempercayai adanya hubungan timbal balik antara kehidupan di dunia dan kehidupan di lelangit," jelas Yulianti.

Jenis upacara adat yang terakhir berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian. Upacara adat ini menjadi bentuk hubungan antara manusia dengan alam atau lingkugan sekitarnya.

Baca juga: Jejak Pendaki Semeru Mulai Berdatangan di TN Bromo Tengger Semeru

Upacara adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian ini disebut juga Leliwet. Upacara ini biasanya dilakukan seseorag saat memasuki masa tanam atau panen.

Leliwet juga sering dilakukan bersamaan dengan Pujan Karo. Tujuan dari Leliwet adalah memohon kepada Sang Hyang Widi agar dalam masa tanam, petani dijauhkan dari kerusakan dan roh jahat.

Upacara ini juga diharapkan dapat membuat tanah menjadi subur, sehingga hasil panen melimpah. Leliwet juga diartikan sebagai rasa syukur atas hasil panen.

Rumah adat dan bahasa suku Tengger

Menurut Batoro dalam bukunya, rumah tradisional suku Tengger pada awalnya masih berupa rumah gubuk sederhana.

Atap rumah terbuat dari alang-alang atau susunan bambu yang dibelah.

Perkembangan arsitektur rumah suku ini mencerminkan perkembangan sosial budaya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Secara adat, susunan ruang di rumah suku Tengger terdiri atas petamon atau ruang tamu, paturon atau ruang tidur, pawon atau dapur dan padmasari atau tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Widi.

Baca juga: 7 Wisata di Kawasan Bromo dan Semeru yang Wajib Dikunjungi

Rumah tradisional Suku Tengger DOK. Shutterstock/priantopujiShutterstock/priantopuji Rumah tradisional Suku Tengger DOK. Shutterstock/priantopuji

Rumah adat suku Tengger aslinya memiliki lantai kayu dan pintu geretan yang dilengkapi kunci kayu atau slorok. Rumah ini memiliki tiang utama yang berumlah empat sampai 12 buah.

Suku Tengger menggunakan bahasa Jawa-Tengger dalam kehidupan sehari-hari. Seperti bahasa Jawa pada umumnya, ada tingkatan bahasa yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat.

Bagi orang yang sudah akrab atau berusia seantaran, mereka biasanya menggunakan bahasa ngoko dengan logat Tengger yang khas.

Sedangkan untuk menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi, mereka akan menggunakan bahasa krama.

Baca juga: Viral, Lokasi Erupsi Semeru Jadi Spot Selfie, Termasuk Dark Tourism?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com