Menurut Prasetya, sebagian besar suku Asmat bertahan hidup dengan cara meramu. Mereka mengambil hasil alam seperti sagu, ikan, dan udang, serta berburu hewan di hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Suku ini juga menanam tumbuhan berupa umbi dan akar-akaran. Mereka hidup secara nomaden untuk mencari lahan yang cocok untuk meramu dan berkebun.
Suku Asmat dikenal sebagai pemahat dan pengrajin ukiran. Suku ini selalu identik dengan hasil karya ukir yang khas.
Dilansir dari Suku Asmat, Daerha Melahirkan Pemahat Handal yang Hidup Terpencil yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo, inspirasi suku Asmat dalam membuat ukiran tersimpan secara rahasia di dalam hati mereka.
Baca juga:
Konsep dan sumber kreasi orang Asmat terjaga dari segala hiruk pikuk perubahan duniawi.
Sumber kreasi ukiran tersebut diturunkan oleh seorang pengukir pada anak laki-laki mereka saat sang anak sudah berusia 14 tahun.
"Bila rahasia ini diketahui orang di luar Asmat, kami tak lagi bisa mengukir," tutur Bernardus, seorang pengrajin ukiran dari Suku Asmat dalam buku tersebut.
Pengrajin ukiran dari suku Asmat disebut wow ipits. Mereka membuat ukiran berupa patung tiga dimensi dan ukiran dua dimensi lainnya yang biasanya berupa tameng kayu, tombak, piring kayu, dan juga terompet bambu.
Para pengrajin dulu menggunakan tulang burung kasuari sebagai alat pahat. Namun seiring perkembangan zaman, mereka mulai menggunakan alat ukir dari besi.
Sebagian kecil penduduk suku ini juga menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di kabupaten dan distrik. Ada pula yang menjadi pegawai bank, guru swasta, dan penjual berskala kecil di pasar tradisional.