Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bugis, Suku Terbesar di Sulawesi Selatan

Kompas.com - 29/08/2021, 08:31 WIB
Kistin Septiyani,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sulawesi Selatan menjadi rumah bagi sejumlah suku di Indonesia. Suku Toraja, Suku Makassar, Suku Mandar, dan Suku Bugis merupakan empat suku terbesar yang berasal dari provinsi tersebut.

Melansir Mengenal Budaya Suku Bugis karya Kapojos dan Wijaya, Suku Bugis merupakan suku terbesar yang mendiami Sulawesi Selatan.

Masyarakat Suku Bugis tersebar di sejumlah wilayah, antara lain Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Barru, Pare-Pare, Sidrap, Pinrang, dan Luwu.

Lebih lanjut, Kapojos dan Wijaya menjelaskan bahwa Suku Bugis termasuk ke dalam golongan suku Melayu Deutero atau Melayu Muda.

Istilah tersebut merujuk pada kelompok populasi yang bermigrasi dari wilayah Asia Selatan ke kawasan Nusantara pada Zaman Logam sekitar 3000 Sebelum Masehi (SM) sampai 1200 SM.

"Kata Bugis berasal dari kata To Ugi yang berarti orang Bugis," papar Kapojos dan Wijaya dalam jurnalnya.

Suku Bugis disebut memiliki budaya yang khas dan berbeda dengan kebanyakan suku di Indonesia. Keunikan peradaban Suku Bugis di masa lalu disebutkan dalam sejumlah literatur budaya.

"Mereka (suku bugis) adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka," tulis Chirstian Pelras dalam bukunya yang berjudul Manusia Bugis.

Baca juga:

Sejarah Suku Bugis dalam naskah Sure' Galigo

Baju Bodo, baju tradisional kaum wanita Suku Bugis DOK. Shutterstock/Sony HerdianaShutterstock/Sony Herdiana Baju Bodo, baju tradisional kaum wanita Suku Bugis DOK. Shutterstock/Sony Herdiana

Sure' Galigo merupakan manuskrip anonim berupa mitos atau epos yang bercerita mengenai asal-usul Suku Bugis. Naskah ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas kebudayaan Bugis.

Merujuk pada tulisan Kapojos dan Wijaya, Sure' Galigo menceritakan awal mula dihuninya negeri Bugis. Menurut naskah tersebut, sejarah ini dimulai saat Batara Guru dari Botinglangi' (dunia atas) bertemu dengan We'Nyelli timo dari Buri'liung (dunia bawah) di Tana Luwu.

Naskah tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Masyarakat Suku Bugis menganggap naskah tersebut sebagai kitab sakral.

Sementara itu, naskah La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup dalam enam generasi. Keturunan tersebut dipercaya hidup pada masa kerajaan di Sulawesi Selatan.

Budaya merantau Suku Bugis

Phinisi Suku Bugis di galangan kapal DOK. Shutterstock/Cyrille RedorShutterstock/Cyrille Redor Phinisi Suku Bugis di galangan kapal DOK. Shutterstock/Cyrille Redor

Dilansir dari Budaya Bugis dan Persebarannya dalam Perspektif Antropologi Budaya karya Bandung, sebagaian orang Bugis-Makassar meninggalkan kampung halamannya untuk merantau.

Anggota suku merantau ke berbagai wilayah Nusantara bahkan sampai ke negara lain.

Tradisi ini sudah menjadi budaya yang tertanam di dalam setiap anggota suku. Tradisi ini diperkirakan sudah berlangsung sejak zaman dahulu.

Kapojos dan Wijaya menyebutkan budaya merantau Suku Bugis sudah dimulai sejak abad ke-17 dan ke-18.

Menurut Pelras, pada mulanya masyarakat Suku Bugis menggantungkan hidup dengan bertani. Namun, seiring perkembangan zaman, suku ini diketahui mendirikan kelompok-kelompok di daerah lain terutama di wilayah pesisir.

Suku Bugis menggunakan phinisi atau sejenis kapal layar untuk menjelajahi samudera. Suku ini dikenal sebagai pelaut handal di sejumlah wilayah.

Bandung juga menjelaskan bahwa budaya merantau ini berawal dari keinginan masyarakat Bugis untuk meninggalkan rajanya yang sewenang-wenang.

Anggota suku yang meninggalkan sang raja sampai ke pesisir Pantai Malaysia Barat, Sumatera, dan pulau-pulau lainnya di Nusantara.

Baca juga:

Kepercayaan dan agama Suku Bugis

Tari Tradisional Suku Bugis di Makassar DOK. Shutterstock/Ali. FahmiShutterstock/Ali. Fahmi Tari Tradisional Suku Bugis di Makassar DOK. Shutterstock/Ali. Fahmi

Dilansir dari Kepercayaan Masyarakat Bugis Pra Islam karya Ridhwan, Suku Bugis menganut kepercayaan asli secara terun-temurun sebelum datangnya ajaran Agama Kristen dan Islam.

Kepercayaan tersebut merupakan ajaran dogmatis yang terjalin dengan adat-istiadat hidup dari berbagai suku bangsa. Pokok kepercayaannya berupa adat dari nenek moyang yang pada umumnya bersifat animisme dan dinamisme.

"Salah satu wujud kepercayaan orang Bugis masa lalu yang menggambarkan ciri-ciri yang mengarah ke paham animisme atau dinamisme yakni gaukeng," tulis Ridhwan.

Gaukeng merupakan sosok makhluk halus yang dipercaya menjaga sebuah komunitas. Sosok tersebut dapat berupa segala sesuatu yang bentuknya tak biasa.

Lebih lanjut, Ridhwan juga memaparkan bahwa Suku Bugis sempat menerima ajaran Hindu-Buddha. Namun ajaran dari agama tersebut tak memberikan pengaruh yang cukup besar dalam sistem kepercayaan mereka.

Perlas menjelaskan bahwa masyarakat Bugis pra Islam percaya pada satu entitas bernama Dewata Sisine. Entitas spiritual tersebut diyakini sebagai Dewa Yang Maha Esa dan bersifat abadi di atas segala-galanya.

Dewata Sisine menjadi awal mula dari terciptanya alam semesta dan dewa-dewa lainnya. Suku Bugis juga meyakini bahwa keturunan Dewata Sisine menjadi awal mula kehidupan di dunia.

Rumah tradisional Suku Bugis

Rumah Raja Luwu di Palopo DOK. Shutterstock/Syamsul AlamShutterstock/Syamsul Alam Rumah Raja Luwu di Palopo DOK. Shutterstock/Syamsul Alam

Berdasarkan Makna dan Nilai-nilai Kearifan Lokal Arsitektur Rumah Tradisional Bugis (Bola) karya Laente, Suku Bugis mengenal dua jenis rumah tradisional yaitu Saoraja dan Bola.

Saoraja meruakan sebutan untuk rumah adat yang ditinggali oleh raja atau keluarga bangsawan. Sedangkan Bola merupakan sebutan untuk rumah adat rakyat atau orang biasa.

"Saoraja dan Bola memiliki struktur yang sama, tetapi Saoraja memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan dengan Bola," tulis Laente.

Arsitektur rumah tradisional Bugis memiliki tiga bagian, yaitu rakkeang atau bagian atas rumah, alle bola atau bagian tengah, dan awa bola atau bagian bawah rumah.

Sayangnya, menurut Laente, rumah adat Suku Bugis kini mulai jarang ditemukan. Pembangunan pesat daerah perkotaan membuat banyak bangunan kehilangan ciri khas Bugis.

Baca juga:

Sumber:

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar

Bandung, A.B.T. 2020. Budaya Bugis dan Persebarannya dalam Perspektif Antropologi Budaya. Lensa Budaya. 15(1). Hal: 27-36

Laente, H. 2019. Makna dan Nilai-nilai Kearifan Lokal Arsitektur Rumah Tradisional Bugis (Bola). Imaji. 17(1). Hal: 51-56

Ridhwan. 2018. Kepercayaan Masyarakat Bugis Pra Islam. Ekspose. 17(1). Hal: 481-498

Kapojos, S.M. dan H. Wijaya. 2018. Mengenal Budaya Suku Bugis. Jurnal Lembaga STAKN Kupang. 6(2). Hal: 153-174

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com