Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Weton Jawa, Penanda Hari Kelahiran yang Dihitung dengan Kalender Jawa

Kompas.com - 30/08/2021, 07:07 WIB
Nabilla Ramadhian,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, mengetahui weton merupakan salah satu hal penting lantaran berhubungan dengan karakter seseorang, serta perjodohan.

Filolog dan Konsultan Pawukon di Museum Radya Pustaka Surakarta Totok Yasmiran mengatakan bahwa weton berasal dari kata wetu atau keluar yang mendapat akhiran –an, sehingga menjadi wetuan.

“Fonim u dan a tersebut mengalami persandian atau luluh, lalu menjadi weton yang berarti kelahiran. Jadi, weton adalah penanda hari kelahiran seseorang,” jelas dia kepada Kompas.com, Minggu (29/8/2021).

Baca juga: Museum Radya Pustaka Surakarta Masih Tutup, Peminat Weton Jawa Harus Sabar

Totok mencontohkan, jika seseorang lahir pada 14 November 1993, maka wetonnya adalah Ahad Pahing. Artinya, dia lahir pada hari Minggu dengan pancawara (nama hari dalam budaya Jawa) Pahing.

Lebih lanjut, dirinya mengatakan bahwa untuk mengetahui weton, seseorang harus menggunakan kalender Jawa.

Sejarah munculnya kalender Jawa untuk hitung weton

Totok menuturkan, kalender Jawa yang digunakan dalam penghitungan weton tidak bisa dilepas dari pengaruh pengaruh Mataram Islam pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Baca juga: Mengenal Suku Osing di Banyuwangi, Ujung Timur Pulau Jawa

Pada masa itu, dia mengatakan bahwa sistem penanggalan diubah dari perhitungan matahari (syamsiyah) menjadi perhitungan bulan (qamariyah).

Lukisan Sultan Agung karya S SudjojonoIndonesian Visual Art Archive/Dwi Rachmanto Lukisan Sultan Agung karya S Sudjojono

Perubahan sistem penanggalan itu dilakukan pada Jumat Legi, dan bertepatan dengan pergantian Tahun Baru Saka 1555 dan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1043 H.

Namun, jika dilihat dalam kalender masehi, perubahan sistem penanggalan itu berada pada 8 Juli 1633 M.

“Pergantian sistem penanggalan itu tidak mengganti hubungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun pertama, melainkan meneruskan hitungan tahun tersebut hingga saat ini. Adapun, penanggalan Saka di Jawa telah berjalan sejak abad ke-8 sejak kerajaan Jawa Hindu,” ujar Totok.

Baca juga: 5 Gunung Tertinggi di Jawa Tengah, Mana yang Sudah Kamu Daki?

Sementara itu, lanjutnya, berlakunya 1 Saka yakni sejak Aji Saka berkuasa di Tanah Hindu. Berlakunya 1 Saka terhitung bersamaan dengan 14 Maret 78 M.

Kawasan Gunung Bromo.KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA Kawasan Gunung Bromo.

Nama hari dalam kalender Jawa

Selain mengubah sistem penanggalan dalam sejarah kemunculan kalender Jawa, Totok mengatakan bahwa ada penyesuaian untuk nama bulan dan hari.

“Nama hari dari Minggu hingga Sabtu dalam bahasa Sansakerta disebut Radite, Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, dan Tumpak. Lantas, nama-nama hari tersebut diubah menjadi nama hari yang mirip dalam bahasa Arab,” ucapnya.

Baca juga: Itinerary Wisata Candi di Jogja, Jelajah 3 Hari 2 Malam

Menurut dia, perubahan nama hari itu menunjukkan terdapat banyak pengaruh penanggalan Islam dalam sistem penanggalan Jawa.

Misalnya, jika jika hari itu sebagai saptawara atau tujuh hari, maka menjadi Ngadah atau Ahad, Senen, Slasa, Rebo, Kemis, Jemuwah, dan Setu.

“Tak hanya hari, dalam penanggalan Jawa terdapat pasaran yang disebut pancawara. Pasaran terdiri dari Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon,” kata Totok.

Baca juga: Tradisi Perayaan Satu Suro di Pura Mangkunegaran Surakarta

“Perpaduan saptawara dan pancawara ini bersiklus 35 harian (selapan). Nah, pancawara ini merupakan wujud unsur Jawa yang tidak ditemukan dalam penanggalan Hijriyah dan Masehi,” imbuhnya.

Lewat weton, perayaan hari kelahiran tidak cuma setahun sekali

Bagi sebagian orang, perayaan hari kelahiran merupakan sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu karena mereka hanya bisa melakukannya setiap satu tahun sekali.

Kendati demikian jika dilihat dari weton, Totok mengatakan bahwa orang Jawa hari lahirnya diperingati setiap 35 hari sekali dalam setahun.

“Pada hakikatnya, mereka bukan berhari ulang tahun melainkan mengulang tanggal dan kelahiran. Dan tahun kan tidak terulang,” papar dia.

Baca juga: 4 Jajanan Pasar Murah dan Legendaris di Solo, Enak tapi Jarang yang Tahu

Sebagai contoh, jika seseorang lahir pada 14 November, dia tidak merayakan ulang tahun setiap 14 November namun setiap kali penanggalan di kalender memasuki Minggu Wage.

Jika umumnya seseorang memperingati kelahirannya setahun sekali, apabila berdasarkan weton, maka setiap 35 hari sekali mereka merayakan ulang tahun dengan selamatan atau bancakan.

“Jadi tidak berkesan hura-hura atau berlebihan. Kalau anak zaman sekarang, memperingati ulang tahun kadang ada kejutan dengan memecahkan telor di kepala misalnya. Ini terkesan mubadzir dan menjadi bahan tertawaan,” lanjut Totok.

Baca juga: Dolan ke Solo, Jangan Lupa Lihat Kampung Batiknya

Saat ini, menurutnya banyak orang Jawa yang tidak tahu wetonnya lantaran hanya mengetahui tanggal lahir berdasarkan kalender Masehi.

Dia menyebutnya sebagai hal yang ironis karena orang-orang tersebut setiap tahunnya memperingati hari ulang tahun, tetapi lupa hari apa mereka lahir.

“Cara paling mudah untuk mengetahui weton kita adalah dengan bertanya kepada orangtua kita, atau kakek dan nenek kita. Mereka biasanya sangat ingat (hari) ketimbang tanggal. Cara termudah lainnya adalah dengan mencarinya secara daring,” katanya.

Museum Radya Pustaka di Kota SurakartaKOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA Museum Radya Pustaka di Kota Surakarta

Cari tahu weton di Museum Radya Pustaka Surakarta

Museum Radya Pustaka Surakarta sebagai museum tertua Indonesia, ternyata memiliki layanan konsultasi tentang weton dan pawukon atau horoskop Jawa.

Totok mengatakan bahwa layanan ini sudah ada sejak lama dan merupakan daya tarik tersendiri. Sebab, menurutnya banyak masyarakat yang belum kenal seputar hal tersebut dan belum pernah berkunjung ke sana.

Baca juga: Radya Pustaka di Kota Solo, Museum Tertua Indonesia

Adanya layanan konsultasi weton dan pawukon memberi kesan tersendiri. Akhirnya, lanjut Totok, banyak wisatawan yang berkunjung kembali ke sana.

“Sebelum 2019, konsultasi pawukon dilayani setiap hari sesuai jam buka museum. Kecuali Senin karena museum libur. Setelah 2019, konsultasi hanya dilakukan pada Jumat, Sabtu, dan Minggu,” ucapnya.

Selama pandemi Covid-19, Museum Radya Pustaka Surakarta ditutup untuk sementara waktu. Namun, masyarakat bisa konsultasi weton dan pawukon secara virtual lewat WhatsApp atau video call.

Baca juga: Langkah Museum Radya Pustaka Solo Menyelamatkan Transkrip Kuno

Jasa konsultasi dengan Totok tidak bersifat komersial, dirinya juga tidak memasang tarif. Meski begitu, dia tidak menampik ada saja orang yang menyampaikan tanda terima kasih.

“Jika ada yang ingin menyampaikan tanda terima kasih, ya diterima. Intinya mengalami kesulitan hidup, justru saya tidak mau menerima pemberiannya. Lho dia sendiri mengalami kesusahan, ya enggak sampai hati lah (untuk nerima). Saya selalu ikhlas dalam pelayanan,” ujar Totok.

Saat konsultasi, dia mengatakan bahwa masyarakat bisa menanyakan apa pun misalnya pencarian weton, hal perjodohan terutama untuk keperluan pernikahan, dan pemilihan hari untuk khitanan.

Baca juga: 123 Tahun Museum Radya Pustaka, Berusaha Bangun dari Sakit

Masyarakat juga bisa konsultasi seputar weton yang cocok untuk pindah rumah, mendirikan rumah, memulai usaha baru, penghitungan peringatan selamatan orang meninggal dunia, dan menanyakan pekerjaan yang cocok.

“Lalu pemberian nama untuk bayi, seputar masalah keluarga seperti suami dan istri yang kurang harmonis atau kenakalan anak, hingga pemilihan hari untuk operasi caesar yang teutnya atas saran dari dokter,” pungkas Totok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com