Para petani sadar bahwa kehidupan pada hakikatnya adalah lemah—secara fisik—seperti perempuan.
“Sebagaimana hidup yang lemah itu selalu terancam oleh kekuatan yang hendak memperkosanya, demikian pula padi itu setiap saat dapat dimusnakan oleh kekuatan alam yang hendak memusnahkannya,” ungkap Sindunata.
Baca lagi: Legenda Dewi Sri: Simbol Kesuburan, Kehidupan, sekaligus Penderitaan
Kesadaran akan hidup yang lemah itu makin menyemarakkan budaya padi. Ketika sawah mulai penuh dengan bulir-bulir padi, mereka melakukan upacara isen-iseni.
Mereka menaburkan bubur yang terbuat dari ketan dan gula di pinggir sawah sambil mengucapkan japa mantera agar segala hama padi, seperti burung emprit, babi hutan dan walang sangit janganlah datang ke Tanah Jawa merusak tanaman mereka.
Menurut akar legenda yang sama, hama-hama itu juga berasal dari telur yang asalnya adalah air mata Dewa Anta. Dewi Sri juga berasal dari telur dewa berwujud naga yang tinggal di Bumi ini.
Namun, telur yang lalu menjadi hama tersebut jatuh ke tempat yang salah dan menjelma menjadi mahkluk jahat bernama Kala Gumarang. Iri akan kodrat Dewi Sri, Kala Gumarang berusaha membunuhnya, tapi gagal terus.
Sesudah kematian Dewi Sri, Kala Gumarang menjelma menjadi burung emprit dan memusnahkan semua padi sebagai titisan Dewi Sri.
Emprit itu kemudian dibunuh Dewa Wisnu. Sayangnya, darah dari satu emprit ini menyiprat kemana-mana, menjadi ribuan emprit, walang dan serangga perusak padi, serta tikus sawah dan babi hutan.
Dalam kesederhanaan yang tertampakkan, masyarakat petani itu tahu bahwa "kultur" harus menang melawan "nonkultur". Simbol Dewi Sri harus menang melawan Batara Guru yang salah hasrat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.