Menurut akar legenda yang sama, hama-hama itu juga berasal dari telur yang asalnya adalah air mata Dewa Anta. Dewi Sri juga berasal dari telur dewa berwujud naga yang tinggal di Bumi ini.
Namun, telur yang lalu menjadi hama tersebut jatuh ke tempat yang salah dan menjelma menjadi mahkluk jahat bernama Kala Gumarang. Iri akan kodrat Dewi Sri, Kala Gumarang berusaha membunuhnya, tapi gagal terus.
Sesudah kematian Dewi Sri, Kala Gumarang menjelma menjadi burung emprit dan memusnahkan semua padi sebagai titisan Dewi Sri.
Emprit itu kemudian dibunuh Dewa Wisnu. Sayangnya, darah dari satu emprit ini menyiprat kemana-mana, menjadi ribuan emprit, walang dan serangga perusak padi, serta tikus sawah dan babi hutan.
Dalam kesederhanaan yang tertampakkan, masyarakat petani itu tahu bahwa "kultur" harus menang melawan "nonkultur". Simbol Dewi Sri harus menang melawan Batara Guru yang salah hasrat.
Ini diwujudkan dalam penghormatan ritual mereka kepada Dewi Kesuburan, Sang Hyang Sri Nyi Pohaci. Salah satunya, pasren.
Pasren adalah tempat tinggal Dewi Sri dalam rumah-rumah tradisional Jawa. Petani Jawa percaya bahwa kemakmuran hidup mereka dan keberhasilan panen mereka amat tergantung pada kemurahan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan dewi padi.
Untuk itu mereka menyediakan tempat khusus bagi Sri di rumah mereka, yaitu pasren ini. Pasren berada di senthong (bilik) belakang atau tengah sebuah rumah.
Di sana diletakkan amben (dipan), yang diatapi dengan robyong (hiasan kain lipat). Dipan itu dilengkapi dengan kasur, bantal dan guling, yang berlukis kembang-kembangan, serta langse (kelambu).
Di depan pasren ditaruh pedaringan untuk menyimpan beras, lalu kendi, jlupak (dian berbahan bakar minyak kelapa), sepasang lampu sewu atau robyong, serta kecohan. Di atas dipan juga diletakkan gambar burung garuda.
Petani Jawa percaya, bahwa sewaktu-waktu Dewi Sri berkenan turun ke rumah mereka. Di pasren itulah Dewi Sri akan berdiam dan membaringkan diri.
Bila terjadi, mereka berkeyakinan akan mendapat berkah serta kesuburan buat hidup mereka. Namun, sewaktu-waktu Dewi Sri akan pergi lagi dengan naik garuda.
Ada cerita lain soal pasren, loro blonyo, dan ritual perkawinan, yang semuanya berpangkal pada legenda Dewi Sri. Namun, ini akan jadi tulisan tersendiri lagi, kelak. Saat ini, kita jaga fokus dulu soal pepadian dan pertanian.
Baca juga: Patung Loro Blonyo, Legenda Cinta Raden Sadana dan Dewi Sri Sang Dewi Padi
Pada upacara wiwitan ketika petani hendak menuai padi, mereka menguntai pula sepasang boneka dari tanaman padi. Pengantin padi ini dihiasi dengan pelangi atau saputangan lalu dibawa pulang dan dibaringkan di pasren.
Di pembaringan Dewi Sri itu mereka tidur sampai saatnya mereka dipindahkan ke lumbung padi. Lumbung padi itu tak boleh diusik-usik selama tiga puluh lima hari.