Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Asal-usul Padi di Nusantara: Antara Legenda Dewi Sri, Ritual Padi, Lacak Genom, dan Jejak Arkeologi

Kompas.com - 01/09/2021, 20:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DEWI SRI dalam legenda mati karena Batara Guru gagal mencarikan buah yang dia idam-idamkan. Lalu, petani Jawa pada suatu masa memperlakukan padi laiknya perempuan yang patut disayangi.

Apa hubungan di antara legenda Dewi Sri dan perlakuan terhadap padi ini?

Asal-usul dan ritual padi merunut legenda

Dalam legenda, Dewi Sri minta dicarikan buah yang telah dia idam-idamkan itu sebagai syarat sebelum Batara Guru bisa menyalurkan hasrat kepadanya.

Batara Guru adalah ayah angkat Sri yang dalam legenda tergoda oleh kemolekan anaknya ini. Seperti muncul dalam banyak legenda lain, syarat yang diajukan Sri adalah cara tersamar sebuah penolakan.

Sayangnya, selama buah itu belum juga didapat, Sri tidak lagi punya selera makan. Dia pun mati.

Baca juga: Sepatan Lembu Sura dan Runtuhnya Majapahit, Mitos dan Sains Gunung Kelud...

Namun, kematian Sri dalam legenda menghadirkan kesuburan dan kehidupan. Dari kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari pusarnya tumbuh tanaman padi.

Dari vaginanya tumbuh pohon aren. Dan dari dadanya mencuat buah gantung berupa pepaya. Dari tangannya tumbuh mangga. Dan dari kakinya tumbuh buah-buahan pendam seperti ubi dan ketela.

Inilah simbol kehidupan yang menjadi lakon keberadaan mitologi Dewi Sri hingga kini, terutama di kalangan masyarakat agraris dan petani padi.

“Para petani sangat mencintai Dewi Sri. Kecintaan mereka diwujudkan dalam keprihatinan mereka memelihara padi,” tulis Sindunata, dalam tulisan Ketika Dewi Sri Sudah Pergi, yang tayang di harian Kompas edisi 24 Juni 1993.

Dari kecintaan itu lahirlah kultur padi. Tak mengherankan, lanjut Sindunata, jika para petani Jawa dulu memperlakukan tanaman padi bagaikan perempuan yang patut disayangi.

Para petani sadar bahwa kehidupan pada hakikatnya adalah lemah—secara fisik—seperti perempuan.

“Sebagaimana hidup yang lemah itu selalu terancam oleh kekuatan yang hendak memperkosanya, demikian pula padi itu setiap saat dapat dimusnakan oleh kekuatan alam yang hendak memusnahkannya,” ungkap Sindunata.

Baca lagi: Legenda Dewi Sri: Simbol Kesuburan, Kehidupan, sekaligus Penderitaan

Kesadaran akan hidup yang lemah itu makin menyemarakkan budaya padi. Ketika sawah mulai penuh dengan bulir-bulir padi, mereka melakukan upacara isen-iseni.

Mereka menaburkan bubur yang terbuat dari ketan dan gula di pinggir sawah sambil mengucapkan japa mantera agar segala hama padi, seperti burung emprit, babi hutan dan walang sangit janganlah datang ke Tanah Jawa merusak tanaman mereka.

Menurut akar legenda yang sama, hama-hama itu juga berasal dari telur yang asalnya adalah air mata Dewa Anta. Dewi Sri juga berasal dari telur dewa berwujud naga yang tinggal di Bumi ini.

Namun, telur yang lalu menjadi hama tersebut jatuh ke tempat yang salah dan menjelma menjadi mahkluk jahat bernama Kala Gumarang. Iri akan kodrat Dewi Sri, Kala Gumarang berusaha membunuhnya, tapi gagal terus. 

Sesudah kematian Dewi Sri, Kala Gumarang menjelma menjadi burung emprit dan memusnahkan semua padi sebagai titisan Dewi Sri.

Emprit itu kemudian dibunuh Dewa Wisnu. Sayangnya, darah dari satu emprit ini menyiprat kemana-mana, menjadi ribuan emprit, walang dan serangga perusak padi, serta tikus sawah dan babi hutan.

Dalam kesederhanaan yang tertampakkan, masyarakat petani itu tahu bahwa "kultur" harus menang melawan "nonkultur". Simbol Dewi Sri harus menang melawan Batara Guru yang salah hasrat.

Hamparan sawah, air terjun kecil, serta aliran sungai di Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Rabu (26/5/2021).KOMPAS.com/NABILLA RAMADHIAN Hamparan sawah, air terjun kecil, serta aliran sungai di Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Rabu (26/5/2021).

Ini diwujudkan dalam penghormatan ritual mereka kepada Dewi Kesuburan, Sang Hyang Sri Nyi Pohaci. Salah satunya, pasren.

Pasren adalah tempat tinggal Dewi Sri dalam rumah-rumah tradisional Jawa. Petani Jawa percaya bahwa kemakmuran hidup mereka dan keberhasilan panen mereka amat tergantung pada kemurahan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan dewi padi.

Untuk itu mereka menyediakan tempat khusus bagi Sri di rumah mereka, yaitu pasren ini. Pasren berada di senthong (bilik) belakang atau tengah sebuah rumah.

Di sana diletakkan amben (dipan), yang diatapi dengan robyong (hiasan kain lipat). Dipan itu dilengkapi dengan kasur, bantal dan guling, yang berlukis kembang-kembangan, serta langse (kelambu).

Di depan pasren ditaruh pedaringan untuk menyimpan beras, lalu kendi, jlupak (dian berbahan bakar minyak kelapa), sepasang lampu sewu atau robyong, serta kecohan. Di atas dipan juga diletakkan gambar burung garuda.

Petani Jawa percaya, bahwa sewaktu-waktu Dewi Sri berkenan turun ke rumah mereka. Di pasren itulah Dewi Sri akan berdiam dan membaringkan diri.

Bila terjadi, mereka berkeyakinan akan mendapat berkah serta kesuburan buat hidup mereka. Namun, sewaktu-waktu Dewi Sri akan pergi lagi dengan naik garuda.

Ada cerita lain soal pasren, loro blonyo, dan ritual perkawinan, yang semuanya berpangkal pada legenda Dewi Sri. Namun, ini akan jadi tulisan tersendiri lagi, kelak. Saat ini, kita jaga fokus dulu soal pepadian dan pertanian. 

Baca juga: Patung Loro Blonyo, Legenda Cinta Raden Sadana dan Dewi Sri Sang Dewi Padi

Pada upacara wiwitan ketika petani hendak menuai padi, mereka menguntai pula sepasang boneka dari tanaman padi. Pengantin padi ini dihiasi dengan pelangi atau saputangan lalu dibawa pulang dan dibaringkan di pasren.

Di pembaringan Dewi Sri itu mereka tidur sampai saatnya mereka dipindahkan ke lumbung padi. Lumbung padi itu tak boleh diusik-usik selama tiga puluh lima hari.

Lacak genom dan jejak arkeologi

Lain legenda, lain pula pelacakan sains. Padi bukanlah tanaman asli Nusantara, bila merunut pelacakan sains, khususnya dari pengenalan genom alias informasi genetik yang ada di setiap makhluk hidup. 

Ahmad Arif lewat tulisan Evolusi Padi hingga ke Nusantara, yang tayang di harian Kompas edisi 28 Mei 2020, bertutur tentang lacak jejak genom padi hingga ke masa 9.000 tahun silam. Dari situ, diketahui bahwa padi masuk ke Nusantara diperkirakan pada 4.200 tahun silam.

Sebelum peristiwa pendinginan global pada 4.000 tahun lalu, padi diyakini hanya ada di daratan China. Peristiwa pendinginan global ini dikenal di kalangan saintis sebagai epos 4.2k.

Epos 4.2k diduga menjadi penyebab orang-orang dari daratan China bermigrasi ke luar kawasan tersebut. Bersama mereka, dibawa serta padi. Perbedaan dan perubahan iklim memunculkan diversifikasi padi, didukung data tinggalan beras yang digali dari sejumlah situs arkeologi di Asia.

"Setelah peristiwa 4.2k, beras tropis bermigrasi ke selatan, sementara beras juga beradaptasi dengan garis lintang utara sebagai varietas beriklim sedang," kata Michael D Purugganan, tim peneliti dari New York University (NYU) Center for Genomics and Systems Biology, dalam riset yang dipublikasikan di Jurnal Nature Plant pada 15 Mei 2020, sebagaimana dikutip di tulisan Arif. 

Jejak padi dalam peradaban Nusantara antara lain dapat ditemukan pula di relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa TImur. 

Sawah muncul di temuan relief di Trowulan, Jawa Timur, diperkirakan berasal dari abad ke-14. Relief sawah lengkap dengan hama tikus beserta sosok manusia dan anjing pemburu di tepiannya, ada juga di Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sekam padi ditemukan pula di situs bata Candi Batujaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jejak sekam padi dari masa 800 SM ditemukan pula di Bali utara.

Sawah terasiring di Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali, satu wilayah dengan Ubud. Gambar diambil pada 15 April 2018.KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Sawah terasiring di Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali, satu wilayah dengan Ubud. Gambar diambil pada 15 April 2018.

"Jejak padi di Nusantara lebih tua dari ini, tapi bukti-bukti arkeologisnya terbatas," kata Sony Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, sebagaimana dikutip di tulisan Arif.

Diversifikasi padi di Nusantara babak berikutnya diperkirakan terjadi pada 2.000 tahun lalu. Ini setelah kedatangan orang India dengan benih padi versi mereka beserta teknik pertanian sawah.

Nusantara sejak zaman dulu kala memang bak melting pot, alias titik temu segala rupa budaya, karena letaknya di persilangan jalur-jalur utama pelayaran, transportasi utama pada masa lalu.

Pada akhirnya, padi yang sama sekali bukan tanaman asli Nusantara pun menjadi bagian yang lekat dengan peradaban Nusantara hingga saat ini. Indonesia bahkan punya benih unggul padi, hasil persilangan benih-benih unggul padi lain. 

"Sekalipun tanaman padi memang bukan asli Indonesia, adaptasinya sudah panjang dan kekayaan hayati kita luar biasa. Ini juga menyebabkan kita memiliki sumbangan penting bagi benih unggul padi di dunia,” kata Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian Pertanian Mastur, dikutip dalam tulisan Arif.

Setidaknya, ketika sesuatu telah menjadi legenda rakyat, keberadaannya harus diakui telah menjadi sebuah kesatuan diri bak udara dalam proses bernapas sehari-hari.

Bukan berarti pula kita lalu lupa bahwa jauh sebelum kedatangan padi ada pula aneka sumber pangan asli Nusantara, dengan jejak lebih tua, yang patut pula kita gali dan muliakan kembali.

Bukankah legenda Dewi Sri sekalipun tak hanya memunculkan padi?

 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:

Naskah-naskah dari harian Kompas yang dikutip di artikel ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com