Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaharu, Wewangian Para Raja, dan Jalur Perdagangan Samudera Pasai

Kompas.com - 06/09/2021, 10:18 WIB
Masriadi ,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

ACEH UTARA, KOMPAS.comGaharu (Aquilaria malaccensis) adalah tanaman yang dimanfaatkan sebagai wewangian sejak zaman dahulu. 

Adapun pohon gaharu dapat ditemukan di Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara.

Terpiadi A. Majid merupakan satu dari sedikit pengusaha gaharu di Desa Mampre, Kabupaten Aceh Utara. Warga Kecamatan Syamtalira Aron itu telah bertani gaharu sejak tahun 2015. 

“Gaharu itu yang bernilai keraknya. Digunakan untuk wewangian sejak zaman dulu kala. Pewangi ruangan dan lain sebagainya,” kata Terpiadi, Minggu (5/9/2021).

Jenis gaharu yang tumbuh di Aceh Utara didominasi oleh jenis malaccensis. 

Baca juga:

Tumbuhan ini juga tumbuh di jalur rempah, Aceh dan sebagian Pulau Sumatera lalu menuju Thailand, Malaysia, India, hingga ke negara-negara di kawasan Timur Tengah.

Namun, pohon gaharu mulai langka di Aceh, seiring dengan tidak adanya budidaya lanjutan setelah Indonesia merdeka.

Pada zaman dahulu, gaharu tumbuh subur di kawasan ini bersama pala dan cengkeh. Sehingga, kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Kerajaan Samudera Pasai, dikenal sebagai salah satu penghasil rempah terbaik di dunia.

Gaharu dan Kerajaan Samudera Pasai

Museum Kerajaan Samudera Pasai, di Desa Beuringen Pirak, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Minggu (5/9/2021)KOMPAS.COM/MASRIADI SAMBO Museum Kerajaan Samudera Pasai, di Desa Beuringen Pirak, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Minggu (5/9/2021)

Kerajaan Samudera Pasai berdiri sejak abad ke-13, tepatnya mulai tahun 1267 hingga sekitar tahun 1524. Raja pertamanya adalah Meurah Silu yang juga dikenal sebagai Sultan Malik al-Saleh (Malikussaleh), dilansir dari acehprov.go.id

Kerajaan tersebut kini terletak di sekitar Kota Lhokseumawe hingga Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

Adapun jalur perdagangan Kerjaan Samudera Pasari meluas hingga ke Persia, Arab, India, dan Cina, berdasarkan temuan Hasan Muarif Ambary dalam tulisan berjudul Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 M dalam Jalur Sutera Melalui Lautan  dalam Kalpataru: Majalah Arkeologi.

Gaharu disebut-sebut sebagai wewangian para raja, khususnya untuk tubuh dan ruangan. 

Salah seorang penjelajah Ibnu Batutah sempat mengunjungi Kerajaan Samudera Pasai.

Dalam buku Sumatera Tempoe Doeloe, Anthony Reid memaparkan, Ibnu Batutah tiba di Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 dan menghabiskan waktu di kerajaan tersebut selama 15 hari.

Pada hari keempat, ia bertemu Sultan Malik Az-Zahir. Peristiwa pertemuan Sultan dengan Ibnu Batutah itu terjadi usai salat Jumat.

Dengan mengenakan pakaian sejenis jubah, Sultan menyambut di sebuah ruangan yang harum.

Ibnu Batutah tidak secara spesifik mendeskripsikan bahwa wangi itu berasal dari gaharu. Namun, disebutkan bahwa ruangan tersebut beraroma harum.

Baca juga:

 

Sultan masuk ke ruangan lainnya yang lebih besar untuk menanggalkan pakaian setelah salat Jumat dan berganti pakaian biasa. Ruangan tersebut juga harum semerbak.

Wangi tersebut diduga berasal dari gaharu karena pada zaman dahulu tanaman tersebut menjadi primadona sebagai pewangi ruangan alami. Kerak gaharu umumnya dibakar hingga mengeluarkan aroma.

Sultan Malik Az-Zahir dinilai alim. Sultan ini, menurut catatan Buya Hamka, merupakan Sultan Malik Az-Zahir II atau raja keempat dari Kerajaan Samudera pasai

Ibnu Batutah mengakui kerajaan itu kaya rempah dan Sultan sangat dicintai rakyatnya.

Bahkan, ketika meninggalkan Samudera Pasai, Sultan memberi sangu atau cendera mata berupa barang mewah, uang dirham (emas), perlangkapan berlayar, serta berbagai perbekalan makanan dan rempah.

“Satu kapal bahkan diberikan oleh Sultan untuk Ibnu Batutah menjutkan pelayarannya ke arah Afrika,” tulis Anthony Reid.

Jalur dagang Kerjaan Samudera Pasai belum diteliti secara komprehensif

Suasana Pelabuhan Krueng Geukuh, Aceh Utara, pelabuhan satu-satunya jalur bisnis laut di Kabupaten Aceh Utara, Minggu (5/9/2021)KOMPAS.COM/MASRIADI SAMBO Suasana Pelabuhan Krueng Geukuh, Aceh Utara, pelabuhan satu-satunya jalur bisnis laut di Kabupaten Aceh Utara, Minggu (5/9/2021)

Peneliti senior Centre for Information for Samudera Pasai Heritage (CISAH) Tgk Taqiyuddin Muhammad, mengatakan, jalur dagang Kerajaan Samudera Pasai belum diteliti secara komprehensif.

“Benar, bahwa Ibnu Batutah mencatat banyak soal rempah. Namun, itu belum terkonfirmasi ke negara lainnya. Misalnya, jalur dagang Kerajaan Samudera Pasai dengan India - di India, di Gujarat, itu belum kita teliti detailnya,” kata Taqiyuddin.

Kabar bahwa rempah seperti cengkeh, pala, dan gaharu menjadi primadona masa lalu tak terbantahkan. Namun, detailnya belum diketahui pasti. Bahkan, letak pelabuhan utama juga belum diketahui pasti.

“Saya menduga, pelabuhan utama Kerajaan Samudera Pasai itu di Teluk Samawi. Itu sekarang di kawasan pusat Kota Lhokseumawe. Di situ dulu pelabuhan awal-awal Indonesia merdeka sebelum pindah ke Krueng Geukuh sekarang ini,” jelasnya.

Baca juga:

Dari Teluk Samawi inilah seluruh kapal asing mengangkut barang dagangan yang didominasi rempah-rempah ke negara-negara lain.

“Kalau interaksi pendatang asing ke Malikussaleh itu sudah sangat jelas. Saya meneliti ribuan nisan, itu coraknya beragam, mulai dari Mongolia dan India. Ini menandakan ada interaksi intensif pendatang (dengan) urusan bisnis ke Malikussaleh,” kata peneliti efigraf makam-makam kuno di Aceh ini.

Dia menegaskan, penelitian itu harus dilakukan komprehensif, agar jalur rempah di Aceh menjadi jelas.

“Utamanya kita harus lihat di negara lain, misalnya hubungan India dengan Aceh, China dengan Aceh. Penelitian di China atau di India-nya harus dilakukan,” terangnya.

Dia berharap, jalur rempah yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa memperjelas detail hubungan dagang Kerajaan Samudera Pasai dengan seluruh negara lainnya di masa lalu.

Kejayaan di masa depan

Kerajaan Samudera PasaiKemdikbud Kerajaan Samudera Pasai

Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, Prof. Herman Fithra, menyebutkan, pengembangan pelabuhan sejatinya mengacu pada konsep masa lalu.

Adapun konsepnya adalah sektor pertanian digenjot agar kapal-kapal yang masuk ke Aceh kini terisi muatan yang mencukupi.

“Dulu sektor pertanian tumbuh subur, rempah kita banyak. Maka, kapal asing masuk ke Kerajaan Samudera Pasai tidak berangkat kosong dari pelabuhan kita. Sekarang, pertanian kita lemah, maka kapal asing tak bisa berdagang, berangkat kosong itu membuat biaya tinggi,” katanya.

Dia menyarankan agar sektor pertanian seperti rempah kembali dikembangkan seperti masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai.

Baca juga:

 

“Rempah dan hasil pertanian lainnya itu kunci untuk menghidupkan pelabuhan kita. Nadi pelabuhan berdetak lebih kencang dengan sendirinya, petani makmur, karena harga jual jadi tinggi,” jelasnya.

Sejalah dengan Prof. Herman, pengusaha gaharu Terpiadi A Majid menambahkan, saatnya gaharu kembali dibudidayakan secara masif oleh pemerintah.

“Tumbuhan ini mudah dirawat, harga jual mahal, dan ini bisa mengentaskan kemiskinan. Memang kalau bangsa ini mau jau, kita melihat ke era kerajaan lalu menjadikannya modal untuk kejayaan masa depan Aceh,” pungkasnya.

Sumber:

Ambary, Hasan Muarif. 1990. Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 M. dalam Jalur Sutera Melalui Lautan

Reid, Anthony. 2010. Sumatera Tempoe Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com