MULAI melandainya kasus Covid 19 di Indonesia merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menyusun kembali program dan strategi pengembangan pariwisata demi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sekadar mengembalikan ingatan kita, pemerintah pernah berbulat tekad membuka gerbang bagi wisatawan asing melalui strategi yang disebut travel bubble.
Travel bubble adalah gelembung atau koridor perjalanan antara dua atau lebih negara yang berhasil mengontrol Covid-19. Gelembung ini akan memudahkan penduduk yang tinggal di dalamnya melakukan perjalanan secara bebas dan menghindari kewajiban karantina mandiri.
Sebagaimana diberitakan, Indonesia berencana membuka travel bubble dengan empat negara yaitu China, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Australia Selandia Baru. Rencana serupa juga ditujukan pada Estonia, Latvia, dan Lithuania.
Namun pemerintah terpaksa mengulur eksekusi atas rencana tersebut menyusul tren meningkatnya kasus Covid-19 varian baru Delta di India dan Eropa yang belakangan ini mulai merambah beberapa wilayah di Indonesia.
Seiring dengan pandemi Covid-19, konsep pariwisata massal (mass tourism) yang selama ini menjadi andalan untuk mengejar kuantitas wisatawan mulai berubah menjadi pariwisata berkualitas (quality tourism).
Kualitas yang diharapkan wisatawan ke depan terkait dengan pelayanan, ketersediaan infrastruktur di daerah tujuan wisata, belanja, dan lama tinggal di daerah destinasi wisata.
Perubahan itu juga mendukung tatanan normal baru yang lebih mengutamakan interaksi dengan alam dan mementingkan cara menjaga lingkungan pada setiap destinasi wisata.
Pariwisata berkualitas memberikan manfaat, tidak hanya bagi ekonomi negara, tetapi juga kemajuan masyarakat di destinasi wisata secara utuh dan berkesinambungan.
Selain memberikan dampak pada perekonomian nasional, penyelenggaraan Meeting Incentive Convention Exhibition (MICE) pun turut mendongkrak popularitas daerah yang didapuk menjadi tuan rumah even MICE berskala internasional.
Hal ini pun akan berdampak signifikan pada pengembangan bisnis, sosial-budaya, dan pendidikan.
Menurut data International Congress and Convention Association (ICCA) Statistics and Country and City Rankings 2019 lalu, Indonesia berada di peringkat 41 dunia untuk penyelenggaraan meeting asosiasi internasional dengan total partisipan internasional mencapai 37.874 orang.
Sedangkan untuk level Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 10 dengan jumlah 95 meeting asosiasi internasional. Posisi ini naik satu tingkat. Sebelumnya, pada 2018 Indonesia berada di urutan 11. Jika dihitung berdasarkan jumlah delegasinya, Indonesia menempati peringkat 4 dari kompetitor di Asia Tenggara.
Penelitian ICCA juga menyebutkan, pengeluaran wisatawan MICE tercatat 53 persen lebih besar dibanding wisatawan leisure. Masa tinggal wisatawan MICE pun lebih lama dibanding wisatawan leisure, yakni rata-rata 5 hari.
Berkaca pada data tersebut, MICE benar-benar berkontribusi besar atas perekonomian nasional dan dapat diandalkan sebagai quality tourism untuk membangun pariwisata Indonesia.