Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Vs Pariwisata, Sebenarnya Tak Perlu Jadi Konflik

Kompas.com - 16/09/2021, 20:08 WIB
Nabilla Ramadhian,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Saat berbicara tentang budaya dan pariwisata, tidak dapat disangkal bahwa sebagian orang menganggap penyatuan keduanya hanya akan menyebabkan konflik.

Dilansir dari Tourism and Cultural Conflicts karya Michael Robinson dan Priscilla Boniface (1998), pariwisata dapat menantang nilai, norma sosial, tradisi, dan perilaku yang ada.

Hal ini mampu menyebabkan situasi konflik yang bahkan bisa menimbulkan kasus ekstrem, seperti perlawanan, atau kekerasan.

Baca juga:

Buku itu menyebutkan, pariwisata memang memberi manfaat ekonomi dan sosial. Masalah yang timbul dapat ditoleransi dan beberapa langkah penanganan konflik diterima.

Namun, acap kali pariwisata disatukan dengan budaya, baik itu secara sengaja atau tidak disengaja, beragam masalah yang kompleks akan muncul.

Misalnya adalah identitas budaya, hubungan kekuasaan sosial dan ekonomi, hak hukum dan moral, juga tanggung jawab manajemen.

Baca juga:

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 2011-2014 Wiendu Nuryanti tidak menampik hal tersebut saat menghadiri Global Tourism Forum: Hybrid Event Leaders Summit Asia Indonesia 2021 hari kedua pada Kamis (16/9/2021).

“Benar, pariwisata dan budaya biasanya dikatakan sebagai dua hal yang dapat memunculkan konflik. Namun, tidak selamanya harus seperti itu. Budaya bisa bersinergi dengan pariwisata, kolaborasi,” jelasnya.

Kolaborasi wisata dan budaya

Wiendu melanjutkan, pariwisata memang tidak hanya berkontribusi terhadap ekonomi, tetapi juga menguntungkan masyarakat lokal dan budaya yang ada di suatu destinasi wisata.

Wisata dan budaya apabila berkolaborasi akan dapat mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Wisatawan bahkan dapat menikmati, menggunakan, atau membeli aset kebudayaan.

“Seperti orang-orang di sekitar Borobudur, mereka bangga banyak wisatawan yang melihat candi tersebut. Banyak wisatawan menikmati desa, batik, serta menggunakan dan membeli aset kebudayaan,” ujar Wiendu.

Candi Borobudur saat matahari terbenam.  .SHUTTERSTOCK/Dmitry Zimin Candi Borobudur saat matahari terbenam. .

“Saat Anda menciptakan manfaat, orang-orang akan melestarikan dan melindungi aset kebudayaan tersebut,” sambung dia.

Aset kebudayaan mencakup monumen, permukiman dan struktur bersejarah, tempat ibadah, pemakaman, dan situs arekologi. Dalam hal ini, batik termasuk dalam aset kebudayaan.

Adapun, hal itu tertera dalam artikel United States Agency International Development bertajuk “Cultural Heritage Assets: Addressing Climate Change Impacts On Infrastructure: Preparing For Change”.

Batik, aset budaya yang meningkatkan ekonomi lokal

Wiendu mengatakan, kolaborasi antara pariwisata dan kebudayaan memungkinkan wisatawan menggunakan dan membeli batik selaku aset kebudayaan khas Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com