KOMPAS.com – Saat berbicara tentang budaya dan pariwisata, tidak dapat disangkal bahwa sebagian orang menganggap penyatuan keduanya hanya akan menyebabkan konflik.
Dilansir dari Tourism and Cultural Conflicts karya Michael Robinson dan Priscilla Boniface (1998), pariwisata dapat menantang nilai, norma sosial, tradisi, dan perilaku yang ada.
Hal ini mampu menyebabkan situasi konflik yang bahkan bisa menimbulkan kasus ekstrem, seperti perlawanan, atau kekerasan.
Baca juga:
Buku itu menyebutkan, pariwisata memang memberi manfaat ekonomi dan sosial. Masalah yang timbul dapat ditoleransi dan beberapa langkah penanganan konflik diterima.
Namun, acap kali pariwisata disatukan dengan budaya, baik itu secara sengaja atau tidak disengaja, beragam masalah yang kompleks akan muncul.
Misalnya adalah identitas budaya, hubungan kekuasaan sosial dan ekonomi, hak hukum dan moral, juga tanggung jawab manajemen.
Baca juga:
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 2011-2014 Wiendu Nuryanti tidak menampik hal tersebut saat menghadiri Global Tourism Forum: Hybrid Event Leaders Summit Asia Indonesia 2021 hari kedua pada Kamis (16/9/2021).
“Benar, pariwisata dan budaya biasanya dikatakan sebagai dua hal yang dapat memunculkan konflik. Namun, tidak selamanya harus seperti itu. Budaya bisa bersinergi dengan pariwisata, kolaborasi,” jelasnya.
Wiendu melanjutkan, pariwisata memang tidak hanya berkontribusi terhadap ekonomi, tetapi juga menguntungkan masyarakat lokal dan budaya yang ada di suatu destinasi wisata.
Wisata dan budaya apabila berkolaborasi akan dapat mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Wisatawan bahkan dapat menikmati, menggunakan, atau membeli aset kebudayaan.
“Seperti orang-orang di sekitar Borobudur, mereka bangga banyak wisatawan yang melihat candi tersebut. Banyak wisatawan menikmati desa, batik, serta menggunakan dan membeli aset kebudayaan,” ujar Wiendu.
“Saat Anda menciptakan manfaat, orang-orang akan melestarikan dan melindungi aset kebudayaan tersebut,” sambung dia.
Aset kebudayaan mencakup monumen, permukiman dan struktur bersejarah, tempat ibadah, pemakaman, dan situs arekologi. Dalam hal ini, batik termasuk dalam aset kebudayaan.
Adapun, hal itu tertera dalam artikel United States Agency International Development bertajuk “Cultural Heritage Assets: Addressing Climate Change Impacts On Infrastructure: Preparing For Change”.
Wiendu mengatakan, kolaborasi antara pariwisata dan kebudayaan memungkinkan wisatawan menggunakan dan membeli batik selaku aset kebudayaan khas Indonesia.
Terjadinya dua aktivitas wisata tersebut memberi manfaat kepada masyarakat setempat, sehingga kerajinan batik sampai saat ini masih dilestarikan dan dilindungi.
Bahkan, batik diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda dalam sidang UNESCO di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009.
“Batik memberi ekonomi terbesar di bidang ekonomi kreatif. Tidak hanya dalam hal penyerapan tenaga kerja, namun juga menaikkan tingkat pendapatan, terutama bagi perempuan,” ujar Wiendu.
Perempuan diuntungkan dalam industri batik lantaran industri tersebut, lanjutnya, mayoritas dipegang dan dipimpin kaum perempuan.
“Jika ingin memotong tingkat kemiskinan, gunakan aset budaya seperti batik, gamelan, angklung, dan lain-lain. Batik merupakan contoh efektifnya aset budaya menjadi alat untuk memangkas tingkat kemiskinan,” tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.