Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Tunggal Panaluan, Tongkat Sakti Suku Batak Toba

Kompas.com - 18/09/2021, 13:01 WIB
Nabilla Ramadhian,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

 

KOMPAS.comAnjungan Sumatera Utara (Sumut) merupakan salah satu anjungan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang bisa dikunjungi, meski saat ini sedang ditutup karena ada renovasi.

Terdapat sebuah koleksi dengan cerita menarik bernama tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba.

“Filosofinya, dulu ada raja yang punya anak kembar, satu lelaki satu perempuan, yang mana anak ini pamit ke raja ingin main ke hutan,” kata Pemandu Wisata Anjungan Sumut bernama Gunin ketika ditemui di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumut, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).

Saat keduanya tengah bermain di hutan, sambungnya, entah terbesit apa tetapi mereka berhubungan badan.

Baca juga:

Sebagai informasi, masyarakat suku Batak tidak hanya melarang hubungan sedarah seperti suku lain, tetapi juga melarang hubungan semarga.

“Orang Batak tidak boleh menikah semarga dan sekeluarga. Karena mereka berhubungan badan, alam menjadi murka. Mereka tersedot ke sebuah pohon berkayu besar,” ujar Gunin.

Sang raja pun khawatir karena keduanya masih belum kembali sejak pagi. Padahal, sore hari sudah tiba. Dia pun akhirnya bergegas memanggil dukun yang juga disebut Datu untuk mencari mereka.

Setibanya di hutan, keduanya melihat bahwa dua buah hati sang raja terperangkap di dalam pohon. Saat mencoba dikeluarkan, Datu tidak mampu melakukannya.

“Si dukun ini tidak sanggup ngeluarin dan tersedot juga. Dipanggil lagi dukun tiga orang, mereka tersedot juga. Pusing si raja, dia panggil dukun yang paling sakti, tapi juga tidak bisa dan tersedot,” kata Gunin.

Tongkat Tunggal Panaluan khas suku Batak Toba di Sumatera Utara.SHUTTERSTOCK / By Julius Bramanto Tongkat Tunggal Panaluan khas suku Batak Toba di Sumatera Utara.

“Dipotong lah pohon itu. Ditebang dan diukir berdasarkan orang-orang yang tersedot ke situ. Makanya tongkat ini punya motif wajah orang-orang yang tersedot, dengan motif paling atas adalah raja itu,” imbuhnya.

Versi lain cerita Tunggal Panuluan

Jika dalam versi yang sebelumnya dikatakan bahwa anak-anak sang raja menjalin hubungan terlarang, ada versi lain dari cerita itu menurut situs resmi Badan Pelaksana Otorita Danau Toba.

Dalam cerita ini, dikisahkan tentang sepasang suami dan istri bernama Guru Hatia Bulan atau Datu Arak Pane dan Nan Sindak Panaluan. Keduanya masih belum dikaruniai seorang anak.

Hingga pada akhirnya setelah delapan tahun menunggu, Nan Sindak Panaluan hamil. Namun, selama kehamilan istrinya, Guru Hatia Bulan sering memiliki mimpi buruk.

Baca juga: 5 Alasan Kamu Harus Berkunjung ke Anjungan Sumut di TMII

  • Kelahiran yang dinantikan

Setelah lama menunggu, Nan Sindak Panaluan melahirkan bayi kembar. Anak laki-lakinya diberi nama Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring, sementara anak perempuannya Tapi Nauasan Siboru Panaluan atau Sri Tapi Omas.

Menurut legenda, kelahiran mereka jatuh pada hari yang buruk. Setelah upacara pemberian nama, para tetua setempat meminta Guru Hatia Bulan untuk memisahkan anak-anaknya.

Hal ini ditujukan guna menghindari musibah. Namun, dia tidak mengikuti saran itu dan membesarkan keduanya dengan penuh cinta hingga dewasa. Warga desa melihat anak-anak kembar itu seperti sepasang kekasih.

Tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumatera Utara, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).kompas.com / Nabilla Ramadhian Tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumatera Utara, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).

  • Bencana dan penglihatan ke masa depan

Suatu hari, kemarau datang dan menyebabkan hujan tidak turun selama hampir tiga bulan. Tanaman pun layu. Sawah dan mata air juga kering.

Para tetua desa berkumpul dan memanggil seorang Datu untuk mencari tahu penyebab dari semua ini. Menurut penglihatan sang Datu, penyebabnya adalah perbuatan terlarang yang dilakukan dua anak kembar tersebut.

Tuduhan langsung dilemparkan kepada si kembar tanpa pembicaraan lebih lanjut. Kepala desa dan Datu datang untuk bertemu Guru Hatia Bulan.

Baca juga:

Mereka menjelaskan, Aji Donda dan Tapi Nauasan menyebabkan kekeringan yang terjadi di desa mereka. Akhirnya, keduanya dipanggil untuk diadili. Saat ditanya banyak pertanyaan, keduanya tidak bisa menjawab karena ketakutan.

Guru Hatia Bulan pun tidak bisa membela anak-anaknya dan menyerah pada hasil pengambilan suara yang meminta agar si kembar diusir dari desa.

Sang ayah yang hanya bisa pasrah kemudian membangun sopo (sejenis lumbung padi) untuk didiami oleh anak-anaknya. Dia juga meninggalkan seekor anjing sebagai penjaga.

Tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumatera Utara, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).kompas.com / Nabilla Ramadhian Tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumatera Utara, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).

Setiap beberapa hari sekali, Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak Panaluan akan berkunjung untuk membawakan makanan sambil menahan kesedihan mereka.

Entah karena si kembar sudah tidak lagi tinggal di desa atau bukan, kekeringan yang sebelumnya melanda akhirnya usai.

  • Insiden pohon yang melegenda

Tidak jauh dari sopo, terdapat pohon berduri. Meski buahnya berwarna hijau, warnanya akan berubah menjadi merah saat matang dan merah tua saat sangat matang.

Buah ini berbentuk bulat bagai anggur, meski rasanya asam dan agak pahit. Namun saat sedikit ditekan, rasanya akan menjadi manis dan segar. Orang-orang menyebutnya sebagai buah piu-piu tanggule.

Suatu hari, Tapi Nauasan meminta Aji Donda untuk memanjat pohon itu lantaran dia ingin menikmati buahnya.

Baca juga:

Dia pun mengiyakan permintaan itu dengan memanjatnya sambil menikmati beberapa buah. Kendati demikian, tubuhnya tiba-tiba masuk ke dalam pohon. Hanya kepalanya saja yang muncul di permukaan.

Beberapa saat kemudian, Tapi Nauasan yang sudah menunggu cukup lama untuk diambilkan piu-piu tanggule memanggil Aji Donda meski tidak mendapat jawaban.

Saat dia dan sang anjing penjaga mendekati pohon, dia melihat tubuh Aji Donda yang terisap pohon. Saat sang lelaki tidak menjawab semua pertanyaannya, dia memutuskan untuk memanjat pohon tersebut.

Akan tetapi, Tapi Nauasan mendapat nasib yang sama dengan Aji Donda. Tubuhnya terisap pohon, hanya menyisakan kepala yang muncul di permukaan.

  • Upaya orangtua untuk menyelamatkan anak-anaknya

Tapi Nauasan tidak sengaja menjatuhkan selempangnya saat memanjat pohon. Anjing penjaga yang ikut bersamanya membawa selempang itu ke Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak Panaluan.

Sepasang suami istru itu bergegas menuju hutan saat mengetahui bahwa selempang itu milik putrinya. Setibanya di hutan, mereka kaget melihat si kembar menjadi satu dengan pohon.

Guru Hatia Bulan kembali ke desa untuk mencari bantuan dari Datu Parmanuk Holing. Keduanya langsung menuju ke hutan untuk menyelamatkan si kembar dengan kekuatan Datu.

Meski demikian, kekuatan Datu tidak seberapa. Dia pun ikut terisap ke dalam pohon. Guru Hatia Bulan mencari Datu lain untuk membantunya.

Mulai dari Datu Mallatang Malliting, Datu Boru Sibaso Bolon, Datu Horbo Marpaung, hingga Datu Jolma So Begu, semua turut membantu. Namun, mereka berempat juga terisap ke dalam pohon.

Baca juga:

20 Tempat Wisata Sekitar Danau Toba, Cocok untuk Pencinta Wisata Alam

Legenda Danau Toba, Tercipta akibat Amarah Putri Jelmaan Ikan

Indahnya Pemandangan Danau Toba dari Ketinggian di Geosite Sipinsur

Tujuh kepala kini terlihat di pohon itu. Guru Hatia Bulan menjadi gelisah. Akhirnya, dia beranjak ke Datu Parpansa Ginjang untuk meminta bantuan.

Tidak seperti Datu lain, dia membaca doa dan meminta sesaji dan tarian tor-tor. Saat seekor kerbau ditawari sebagai sesaji, dia memotongnya, lalu menebang pohon dan membawanya ke desa.

Guna menyeka kesedihan Nan Sindak Panaluan atas hilangnya kedua anaknya, pohon itu diukir menyerupai si kembar dan lima Datu yang mencoba untuk menolong mereka.

Ukiran juga dibentuk menyerupai anjing, dan hewan lain yang terhisap ke dalam pohon seperti kadal dan ular.

Bagian atas pohon diukir dengan ukiran Aji Donda dan dilengkapi rambut yang dibungkus benang tiga warna, yaitu putih, hitam, dan merah.

Tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumatera Utara, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).kompas.com / Nabilla Ramadhian Tongkat Tunggal Panaluan yang dapat dilihat di rumah adat Batak Toba di Anjungan Sumatera Utara, TMII, Jakarta, Senin (13/9/2021).

Pohon yang lambat laun dikenal sebagai Tunggal Panaluan selalu dibawa untuk menghibur sepasan suami istri itu.

Tunggal Panaluan dianggap hidup. Alhasil, mereka mempersembahkan upacara dan tari tor-tor untuk tongkat tersebut.

  • Dianggap sebagai tongkat sakti

Tongkat Tunggal Panaluan memiliki panjang sekitar 150-200 meter. Tunggal artinya adalah satu, sementara Panaluan artinya adalah mengalahkan.

Adapun, Tunggal Panaluan menggambarkan hubungan antara banua toru, banua tonga, dan banua ginjang.

Baca juga:

Mengutip situs resmi Pemerintah Kabupaten Samosir, ketiganya dipercaya oleh masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari alam semesta.

Tunggal Panaluan dianggap sebagai tongkat sakti karena roh-roh yang bersemayam di dalamnya. Saat Guru Hatia Bulan meninggal, tongkat ini dipegang oleh Datu-datu dan hanya boleh dimiliki oleh mereka.

Tongkat yang dipercaya sebagai tempat tinggal para leluhur dikatakan dapat memanggil hujan, menyembuhkan penyakit, mengusir wabah, memberi berkah, serta melindungi rumah dan desa dari musuh.

Saat Belanda menjajah Indonesia, tongkat ini hilang. Banyak orang yang mencarinya karena percaya bahwa siapa pun yang memegangnya akan mendapat kekuatan.

Jika ingin melihat seperti apa bentuk tongkat Tunggal Panaluan, kamu bisa berkunjung ke Anjungan Sumut di TMII yang memiliki replikanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com