Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekowisata Tuntong Laut di Aceh Tamiang, Kura-kura Langka di Dunia

Kompas.com - 31/10/2021, 22:21 WIB
Masriadi ,
Ni Luh Made Pertiwi F.

Tim Redaksi

ACEH TAMIANG, KOMPAS.com – Lima kendaraan roda empat memasuki kawasan pesisir pantai di Ujung Tamiang, Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Jumat (29/10/2021).

Rombongan mobil itu ditumpangi Bupati Aceh Tamiang, Mursil dan sejumlah pejabat PT Pertamina Field Rantau.

Mereka ingin melihat tempat wisata baru itu sekaligus melepaskan anak tuntong laut ke perairan.

Tuntong laut (Batagur Borneoensi) merupakan spesies kura-kura dengan warna yang indah.

Sayangnya, 15 tahun terakhir, spesies ini hampir punah. Bahkan, untuk perairan Riau, Sumatera Utara, dan sekitarnya tidak ditemukan lagi.


Hanya dalam jumlah kecil ditemukan di perairan Kalimantan dan Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.

Kawasan Pantai Ujung Tamiang pun menjadi destinasi baru dan populer di pedalaman Aceh Tamiang.

Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata, Aceh Tamiang, menjadikan kawasan ini menjadi ekowisata. Sejak tahun 2015 silam, perlindungan spesies Tuntong Laut dikembangkan di kawasan ini.

Perburuan akan telur Tuntong Laut marak dilakukan masyarakat lokal sebagai sumber penghasilan tambahan selain ikan. Telur itu dijual buat dikonsumsi masyarakat.

Akibatnya, Tuntong Laut menjadi satu dari 327 spesies terlangka di dunia versi International Union for Conservation of Nature (IUCN). Kementerian Kehutanan RI memasukan Tuntong Laut sebagai spesies yang harus dilindungi.

Tuntong diburu, Mangrove mati

Abu Bakar, masyarakat lokal, mengakui pernah berburu telur Tuntong Laut. Sejak 1985 hingga 1998, Abu Bakar satu dari sekian warga yang mengantungkan hidupnya dari telur Tuntong Laut.

Selain itu, mereka juga menebang pohon bakau yang tumbuh subur di sekitar desa.

“Tahun 1998 itu, telur Tuntong sudah susah ditemukan. Sejak saat itu, saya berhenti berburu telur Tuntong. Kembali menggarap lahan pertanian,” kata Abu Bakar.

Baca juga: Taman Mangrove Klawalu Sorong, Taman Wisata Mangrove Pertama di Papua

Hatinya bergejolak ketika melihat telur Tuntong sudah sulit ditemukan. Hewan ini hidup dengan memakan buah mangrove.

Pada waktu bersamaan, hutan mangrove bak hilang karena ulah tangan manusia. Ditebang dan dijual menjadi arang.

“Lengkap sudah, Tuntong diburu, Mangrove mati. Saya sadar ini berbahaya buat generasi anak cucu. Maka, saya ikut program pelestarian Tuntong dan mangrove,” kenang Abu Bakar melambung ke belasan tahun lalu.

Merawat Tuntong

Bak komandan perang, dia pun memimpin pelestarian Tuntong bersama sembilan warga lokal lainnya.

Malam hari, dengan penerangan senter, dia mempimpin sembilan anggotanya mengelilingi pantai untuk mencari Tuntong dan dilepaskan ke perairan.

Ia kerap menemukan Tuntong betina yang tergeletak dalam kondisi lemah.

“Harus dirawat dulu baru dilepaskan,” katanya.

Tuntong betina menepi ke daratan pada malam hari. Menggali lubang dan bertelur.

Tuntong betina bisa bertelur 25 butir yang disimpan dalam lubang pasir sedalam 10 sentimeter.

Baca juga: Kura-Kura di Tepian Samudra

Untuk memonitor Tuntong betina, Abu Bakar memasang chip di kaki Tuntong. Dengan ini, pergerakan Tuntong bisa dimonitor, sebagai upaya perlindungan.

“Tuntong betina yang kita selamatkan 100 ekor lebih. Ribuan anak Tuntong sudah kita lepas liarkan,” kata Abu Bakar.

Dia pun kini bernafas lega. Hutan mangrove di sisi kiri-kanan Sungai Tamiang mulai tumbuh, pun di pesisir perairan. Tuntong pun mulai mudah menemukan makanannya.

Masyarakat menjemur ikan asing di Kawasan Ekowisata Ujung Tamiang, Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh TamiangKOMPAS.COM/MASRIADI SAMBO Masyarakat menjemur ikan asing di Kawasan Ekowisata Ujung Tamiang, Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang

Menjadi kawasan ekowisata

Senada dengan Abu Bakar, anggota Kelompok Sadar Wisata, Pusong Kapal, Aceh Tamiang, Muhammad Bayu, menyebutkan, ekowisata Tuntong laut juga dilengkapi dengan pusat informasi dan pelestarian.

Pusat informasi dan pelestarian ini didukung sepenuhnya oleh PT Pertamina EP Field Rantau lewat program Corporate Sosial Responsibility (CSR) bidang lingkungan bersama Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia.

Baca juga: 7 Destinasi Ekowisata di Indonesia, Pas Dikunjungi Saat Pandemi

“Kami senang, ekowisata ini mulai banyak dikunjungi, mereka melihat bagaimana Tuntong sejak bayi yang dikenal tukik oleh masyarakat umum," kata Muhammad Bayu. 

"Hingga lepas liar, di sini edukasi dan wisata digabung menjadi satu. Terpenting ini, menjadi nilai tambah ekonomi masyarakat lokal," lanjutnya.

Selain itu, hasil tangkapan ikan masyarakat lokal juga diolah menjadi ikan asin.

“Sehingga, dengan ekonomi masyarakat lokal bagus, ikan basah diubah menjadi ikan asin, harga jual jauh lebih mahal. Tak ada lagi perburuan Tuntong dan pengrusakan mangrove untuk dijadikan arang,” terang Bayu.

Bupati Aceh Tamiang, Mursil, menyebutkan Tuntong Laut masuk dalam nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API) tahun ini.

“Ini obyek wisata langka, kami apresiasi Pertamina EP Rantau Field yang sudah mendukung. Semoga ini terus berkembang dan banyak dikunjungi wisatawan,” katanya.

Baca juga: Kota Langsa Kembangkan Ekowisata Hutan Mangrove

Berdasarkan Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata, selama pandemi Covid-19, sekitar 300 wisatawan luar Aceh Tamiang berkunjung ke kawasan itu per bulannya.

“Kalau wisatawan lokal setiap hari ramai, apalagi akhir pekan,” kata Mursil. Dia berpromosi, destinasi wisata itu memiliki empat kelebihan yaitu konservasi mangrove, satwa endemik (Tuntong Laut), pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sarana edukasi.

“Sarana terus kita benahi, akses jalan dari pusat Kota Tamiang ke Seruway terus kita tingkatkan. Semoga ini menjadi salah satu destinasi wajib yang dikunjungi wisatawan Indonesia ke Aceh Tamiang,” katanya.

Sementara itu, Pengelola CSR Pertamina EP Field Rantau, Budi Uning, menyebutkan, Pertamina membantu mendirikan pusat informasi Tuntong Laut.

“Ini kerja kolaboratif antara Pertamina, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang dan Yayasan Satu Cita Lestari. Kita berbagi peran, kami mendukung pusat informasi dan perlindungan Tuntong ditambah peningkatan pendapatan masyarakat nelayan di kawasan itu,” sebutnya.

Kerjasama ini, sambung Budi, menghasilkan bukti nyata. Tuntong terlindungi oleh masyarakat sendiri.

Baca juga: KLHK Dorong Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

Pengamat ekonomi dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh, Halida Bahri, menyebutkan, program CSR sejatinya harus memperhatikan lingkungan dan nilai tambah ekonomi.

“Saya pikir, wisata Tuntong Laut itu menjadi contoh ideal untuk pengembangan dana CSR bagi masyarakat. Karena, wisatawan dapat melihat Tuntong, masyarakat dapat nilai ekonomi lebih dengan kunjungan itu, dan lingkungan mangrove bisa hijau kembali," kata Halida.

"Ini format ideal, semua diuntungkan. Patut ditiru oleh pengembangan destinasi wisata lainnya di Aceh,” lanjut Halida.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com