Setidaknya terdapat lima dimensi yang terdampak krisis (McKercher dkk, 2020).
Pertama, dimensi psikologis. Pandemi telah menurunkan motivasi individu untuk melakukan perjalanan wisata. Rasa cemas, takut, marah, panik dan trauma psikologis menghantui para turis (Zurich, 2020).
Kedua, dimensi pemeliharaan kesehatan. Walau sejumlah negara telah mencabut kewajiban karantina bagi turis asing yang berkunjung, kebijakan ini sewaktu-waktu dapat berubah.
Ledakan kasus di Eropa dan beberapa negara Asia membuat perjalanan wisata berisiko tinggi sekalipun kewajiban karantina diberlakukan kembali.
Ketiga, dimensi sosial. Pandemi yang berkepanjangan telah mengubah nilai dan kebiasaan sosial, termasuk cara menjalankan aktivitas wisata. Bentuk staycation, perjalanan individu atau kelompok-kelompok kecil dalam rangka social distancing, menjadi kebiasaan baru.
Baca juga: 5 Insight Travel dari Pandemi
Keempat, dimensi teknologi. Pandemi yang mengakibatkan krisis telah memaksa transformasi teknologi lebih cepat dari yang diduga sebelumnya.
Virtual tourism sempat ditawarkan menjadi alternatif bagi mereka yang telah merindukan melakukan perjalanan wisata.
Walau sepertinya tidak lagi menjadi pilihan, seiring dengan kondisi yang lebih terkendali, pemanfaatan teknologi menjadi keniscayaan dalam perjalanan wisata minimal untuk mengendalikan mobilitas aktivitas wisatawan di lokasi destinasi.
Kelima, dimensi lingkungan. Masa sebelum pandemi adalah saat sejumlah destinasi mengeluhkan over tourism. Ketika krisis hadir, destinasi berubah senyap. Berita baiknya adalah emisi karbon merosot drastis dan lingkungan hidup seperti terlahir kembali.
Memang ada kekhawatiran sisa buangan masker yang sulit didaur ulang akan menjadi limbah yang merusak lingkungan.