Menghadapi itu pengelola destinasi patut membangun resiliensi melalui penerapan manajemen krisis. Resiliensi adalah istilah yang biasa dikenal dalam dunia psikologi terkait dengan kemampuan seseorang untuk bangkit ketika menghadapi kesulitan.
Tidak hanya itu, tetapi juga mampu untuk mengatasi rasa sakit yang kemudian bertransformasi agar tetap bertahan menjalani kehidupan.
Resiliensi destinasi wisata yang tercipta akan mendorong lepas dari krisis. Terdapat empat tahap berurutan yang mesti dijalani melalui model siklus (Lew dkk, 2020), yaitu sistem yang kolaps, reorganisasi, tumbuh dan konsolidasi.
Fase kolaps telah dijalani yang meliputi kebijakan seperti social distancing, lockdown, jam malam, dan penutupan pusat belanja, restoran, kafe, toko dan perbatasan.
Di Indonesia dikenal dengan kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan berbagai versi hingga sekarang menjadi PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat).
Baca juga: Tren Pariwisata Indonesia di Tengah Pandemi Berubah, Apa Upaya Parekraf?
Selanjutnya adalah fase reorganisasi yang hingga kini masih berjalan ketika pengelola membangun kembali struktur organisasi dan mengalokasikan kembali sumber daya agar memiliki kemampuan inovasi dan kreatif di masa krisis.
Manakala proses reorganisasi telah mulus dijalankan, fase tumbuh telah menanti. Pengelola destinasi memainkan peran kunci dalam kampanye pemasaran untuk memulai kembali aktivitas pariwisata.
Peran pemerintah untuk menjalin kolaborasi dengan negara lain dalam rangka mendatangkan kembali turis manca negara menjadi keniscayaan.
Fase yang terakhir adalah konsolidasi. Dalam jangka panjang transformasi yang terjadi akan menyiapkan wisatawan yang lebih bertanggung jawab dan berorientasi lingkungan.
Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa organisasi yang menjalankan strategi berwawasan lingkungan akan menjadi lebih kompetitif daripada yang tidak. Isu-isu mengenai lingkungan menjadi aspek yang lebih dipertimbangkan ketika berwisata.
Baca juga: Indonesia Batasi Kedatangan dari 8 Negara Akibat Varian Baru Covid-19
Menciptakan pariwisata yang cerdas membuat industri wisata akan lebih siap ketika menghadapi krisis lain, yang masih sangat mungkin terjadi, di masa mendatang.
Memang, krisis belum berakhir. Namun tidak ada salahnya mengambil pelajaran agar jika terjadi krisis serupa pada masa mendatang, sektor wisata akan lebih cepat tanggap dan bertahan secara tepat.
Dalam dunia yang semakin penuh ketidakpastian, cuma perubahan itu sendiri yang sudah pasti. Membangun resiliensi melalui manajemen krisis menjadi sebuah kepatutan yang tidak bisa ditunda lagi.
Frangky Selamat
Dosen tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara