KOMPAS.com - Hotel-hotel di Jakarta saat ini mulai terisi.
Bahkan, belum lama ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut hotel di Jakarta sebagian besar sudah penuh.
Menurutnya, saat ini keyakinan konsumen sudah mulai pulih dan belanja masyarakat juga sudah berada di atas tingkat sebelum pandemi.
"Ini saya rasa menggembirakan. Kalau Anda cek hotel di Jakarta sekarang, hampir penuh atau mungkin penuh," kata Luhut, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (16/12/2021).
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berpendapat sama.
Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan tingkat okupansi hotel di Jakarta meningkat, antara lain:
Menurutnya, sejak kuartal IV, kegiatan-kegiatan pemerintah mulai kembali digelar di hotel-hotel.
Peningkatan kegiatan tersebut mulai terjadi sejak dilonggarkannya mobilitas masyarakat untuk beraktivitas di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah.
"Biasanya kegiatan yang dilakukan pemerintah ada, sebelum Covid. Itu tidak ada di 2020, baru ada di 2021."
"Berarti peningkatan okupansi di kuartal IV salah satunya adalah kegiatan pemerintah itu. Belum lagi ditambah kegiatan-kegiatan lainnya," kata Maulana kepada Kompas.com, Kamis (16/12/2021).
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya juga pernah merilis adanya kenaikan tingkat penghunian kamar akibat pelonggaran PPKM.
Kepala BPS, Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual BPS, Rabu (1/12/2021) menyebutkan bahwa tingkat penghunian kamar pada Oktober naik 8,98 poin dari bulan sebelumnya, dengan tingkat okupansi hotel bintang 36,64 persen pada September menjadi 45,62 persen pada Oktober.
Sementara untuk DKI Jakarta secara khusus, tingkat okupansi hotel di Jakarta sebetulnya cukup stabil sepanjang 2021, dengan tingkat okupansi 50,61 persen pada Oktober.
Angka tersebut meningkat dari bulan sebelumnya atau September, yakni 42,62 persen.
Sementara tingkat okupansi terendah di Jakarta sepanjang 2021 adalah pada Juli dan Agustus, dengan masing-masing 31,72 persen dan 30,80 persen.
Baca juga: Tingkat Okupansi Hotel Bintang di Indonesia Mulai Membaik, tapi...
Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang tiba di Indonesia wajib menjalani karantina.
Aturan ini ternyata juga memengaruhi peningkatan okupansi hotel di Jakarta, terutama karena masih adanya perubahan aturan jumlah hari karantina yang semula sempat hanya tiga hari menjadi 10 hari.
Perubahan aturan ini menimbulkan permasalahan teknis di lapangan.
"Secara teknisnya pasti akan problem jika tidak dikondisikan sebelumnya. Orang-orang yang seharusnya sudah check out, jadi belum (check out). Sementara reservasi kan sudah datang sebelumnya," ucap Maulana.
Tidak semua hotel bisa menerima tamu karantina. Hanya sekitar 60-65 persen hotel yang bisa menyediakannya dengan menyesuaikan perubahan masa karantina.
Ketika aturan karantina WNI dan WNA berubah menjadi 10 hari, jumlah hotel perlu ditambah. Sebab, jumlah WNI dan WNA yang datang dari luar negeri saat ini juga cukup banyak.
Oleh karena itu, akan diupayakan penambahan jumlah kamar untuk hotel repatriasi agar memenuhi kuota saat ini sekitar minimal 15.000 kamar.
Adapun kamar yang disediakan untuk karantina memiliki aturan dan standar tersendiri, sehingga penyediaannya menjadi tantangan di lapangan.
"Untuk masalah repatriasi atau hotel karantina, memang hotel bisa terima tamu lain. Tapi, lantai atau floor yang digunakan untuk karantina kan tidak boleh diganggu, lantai khusus."
"Kalau mau tambah, ya satu floor. Untuk menambah satu floor kan tidak semudah yang dibayangkan kalau memang ada isinya (tamu). Kami lagi bekerja untuk memenuhi kuotanya," kata dia.
Baca juga:
Peningkatan okupansi hotel tak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di beberapa kota lainnya.
Maulana menyebutkan, beberapa alasannya seperti meningkatnya pergerakan ke daerah-daerah karena pelonggran PPKM dan infrastruktur jalan tol yang semakin lengkap. Alasan kedua membuat sebagian masyarakat bisa bepergian menggunakan kendaraan pribadi.
Dampak dari kasus Covid-19 yang melandai juga berdampak pada beberapa kebijakan lain, seperti penurunan harga tes RT-PCR.
"Adanya penurunan harga PCR jadi menarik bagi mereka untuk bergerak menggunakan pesawat udara. Contohnya saja Bali," ucapnya.
Adapun berkaitan dengan masuknya varian Omicron ke Indonesia, Maulana berhara pemerintah mampu melakukan proteksi ekstra sehingga tidak terjadi peningkatan jumlah kasus yang signifikan.
Sebab, peningkatan kasus akan kembali memberikan efek negatif terhadap industri pariwisata.
"Kami menghatapkan pemerintah untuk sangat memproteksi masalah Omicron ini. Terutama orang-orang yang bergerak dari luar negeri karena ada potensi virus," ucapnya.
Baca juga: Baca juga:
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.