Sekretaris Majelis Tri Dharma Kalimantan Barat, Edilius menjelaskan tentang asal mula adegan pada tradisi tatung.
Dahulu kala, pernah terjadi wabah cacar air di Singkawang yang dalam waktu singkat melanda seluruh daerah.
Saat itu, kata dia, belum ada rumah sakit, dokter, dan vaksin.
Menurutnya, nenek moyang Tionghoa Dayak saat itu percaya bahwa terkena cacar air adalah pengaruh roh jahat.
Ternyata, itulah yang melatarbelakangi adegan pada salah satu atraksi tatung, yakni seorang pemeran tabib lokal menakut-nakuti roh jahat tersebut bertepatan hari ke-15 setelah Imlek.
"Entah secara kebetulan hilang, karena masa infeksi virus kan ada waktunya, atau karena atraksi yang dilakukan," ujar Edilius, selaku Sekretaris Majelis Tri Dharma Kalimantan Barat kepada Kompas.com, Senin.
Edilius mengatakan, sejak saat itu tradisi tatung pun terus berlanjut setiap jelang perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
Baca juga:
Sementara untuk liong atau parade naga, pada masa sebelum pandemi selalu mengundang masyarakat untuk datang menyaksikan. Bahkan, pengunjungnya selalu sampai memadati jalan utama.
Sering kali, peserta dan pengunjung juga berasal dari negara tetangga, yakni Malaysia.
Kompas.com juga sempat berbincang dengan Direktur Utama Smart Cakrawala Aviation, Pongky Majaya, yang saat itu juga melihat perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
Tinggal di Singkawang dan memiliki istri seorang warga lokal membuatnya punya banyak kenangan tetang perayaan tahunan tersebut.
Ia juga kerap mengantarkan tamu dan klien untuk menyaksikan kemeriahannya.
Pongky ingat, ia sering kali kehabisan penginapan saat membawa tamu menyaksikan Cap Go Meh di Singkawang. Tak heran jika mengingat perayaan tersebut sering disebut sebagai perayaan Cap Go Meh terbesar se-Asia Tenggara.
"Sekarang sepi, tidak ada arak-arakan pawai tatung dan liong. Kalau dulu sebelum pandemi ramai sekali jalan ini, sampai sulit mendapat penginapan, kadang saya tidurnya di losmen atau rumah warga," kata Pongky.
Baca juga: