KOMPAS.com – Saat perayaan Hari Raya Nyepi, pawai ogoh-ogoh selalu ada setiap tahunnya.
Ogoh-ogoh merupakan sebuah simbol dibuangnya keburukan dan hal negatif dari manusia.
Meski sempat ditiadakan di masa pandemi Covid-19 demi keamanan dan kesehatan masyakarat, kini ritual tersebut mulai diadakan kembali.
Adanya pawai Ogoh-ogoh selalu menjadi sorotan dan dinantikan oleh banyak orang.
Baca juga:
Berdasarkan buku Beragam Makna Ogoh-ogoh dalam Tradisi Nyepi (2020) yang disusun oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, ogoh-ogoh adalah patung dari bahan ringan yang menggambarkan wajah raksasa, simbol Sang Butha alias setan.
Namun, wujud ogoh-ogoh dapat ditafsirkan secara bebas. Ada yang membuatnya sebagai wujud raksasa perkasa, raksasa kemayu atau raksasi, atau raksasa setengah binatang.
Menurut buku tersebut, butha adalah simbol jahat yang harus diperangi dari semesta, sekaligus nafsu jahat dalam diri kita.
Ogoh-ogoh biasa diarak di jalanan. Padahal, ritual pembersihan alam sebetulnya cukup dengan sesajen dan pemuka agama melafalkan doa "pengusir setan".
Namun, masyarakat ingin agar ada visualisasi dari simbol jahat tersebut.
"Masyarakat kurang sreg kalau tak ada visualisasi, maka dibuatlah patung raksasa yang terbuat dari jerami dibalut kertas dan dicat warna-warni."
"Lama-lama lantas ada ide, patung yang bagus itu sebaiknya diusung di sekitar tempat ritual," tulis buku tersebut.
Seiring berjalannya waktu, ogoh-ogoh semakin canggih dan bagus, sehingga material yang digunakan pun berbeda.
Dikutip dari tesis berjudul Ogoh-ogoh dalam Ritual Nyepi di Bali oleh Kadek Andhi Indrayana, ogoh-ogoh sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu, tepatnya pada zaman Dalem Balingkang.
Kendati demikian, ogoh-ogoh disebut baru benar-benar membumi pada 1990 saat dijadikan lomba pada Pesta Kesenian Bali.
Pada masa itu, ogoh-ogoh dipakai untuk kelengkapan Upacara Pitra Yadnya.
Pitra Yadnya adalah ritual umat Hindu yang dimaksudkan untuk menunjukkan rasa bakti kepada orang tua dan leluhur, seperti Upacara Ngaben.
Baca juga:
Kadek Andhi Indrayana membagi jenis ogoh-ogoh menjadi empat. Pertama, butha kala atau raksasa dari sastra Hindu.
Kemudian ogoh-ogoh berwujud para dewa seperti Dewa Siwa atau Dewa Ganesha, dan ogoh-ogoh kategori pewayangan seperti Rahwana dan Maricalina.
Terakhir adalah ogoh-ogoh konteporer, yang mengambil bentuk tokoh-tokoh modern, misalnya Spiderman atau Superman.
Menurut Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta asal Bali, Pande Made Sukertam, adanya ogoh-ogoh dengan karakter tokog modern justru dianggap sebagai inovasi.
"Kami justru senang, karena budaya itu berkembang ke daerah lain dengan modifikasi," tuturnya, dikutip dari judul buku yang sama.
Baca juga:
Sementara itu, pemilik Sanggar Gases Sesetan, Wayan Candra juga melibat adanya perkembangan pesat untuk bentuk ogoh-ogoh, sejalan dengan meningkatnya kreativitas para pembuatnya.
Walaupun bentuknya mulai bervariasi, Wayan Candra mengungkapkan tak ada masalah selama tidak menyimpang dari konsep.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.