Ia menghitung perjalanan dari Wates menuju sawah Penggung sekitar 25 kilometer.
Sawah ini peninggalan nenek moyang. Turun-temurun warga mengenal bertani di sawah tadah hujan yang pola tanamnya mengikuti cuaca.
Panen hanya satu kali dalam satu tahun, selebihnya sisa batang padi jadi pakan sapi. Sementara itu, kotoran sapi nanti jadi pupuk bagi sawah mereka.
Warga menyebutnya sebagai Mbulak Penggung dengan luas sekitar 35 hektar (ha). Hampir sebagian adalah tanah bengkok atau tanah kas Kelurahan Purwosari. Beberapa bagian masuk dusun sebelah.
Paryono (53) adalah salah satu buruh tani yang sempat merasakan pertanian masa lalu. Ia mengatakan, petani saat itu menyiapkan lahan dengan cara membajak menggunakan luku yang ditarik dua sapi. Kini, semua berganti traktor.
Peralihan teknologi dari sapi jadi traktor membuat petani menyimpan semua peralatan tani manual itu di gubuk-gubug sawah, seperti cacahan, pasangan, singkal, dan garu.
Baca juga: Calendar of Event 2022 Kulon Progo, Ada Ratusan Kegiatan Pendukung Pariwisata
“Sapi di rumah saja sekarang. Kami memanfaatkan kotoran sapi untuk sawah ini,” kata Paryono.
Selain sawah, masyarakat juga masih mempertahankan tradisi dan budaya orangtua mereka dalam kehidupan pertanian mereka. Mereka masih melakoni tradisi nyemplung sawah, tanda siap mengolah sawah; dan tradisi entas-entas, tanda selesai menanam padi.
Kemudian, ada tradisi wiwit, tanda siap memanen. Sedangkan baritan sebagai tanda selesai panen padi. Semua dilaksanakan dalam bentuk kenduri atau menaikkan doa syukur secara bersama-sama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.